Cari Blog Ini

05 Juni 2011

Interpretasi Hadis "Kullu Bid'atin Dholalah", Semua Bid'ah Adalah Sesat


"Kullu bid'atin dholalah". Sebuah frase dari hadis nabi yang disalah artikan oleh sebuah gerakan baru lalu melahirkan berbagai penafsiran, menjadi landasan ideologi yang berani mendobrak tradisi umat islam kebanyakan dan menimbulkan perpecahan tajam di antara kaum muslimin. Di antara propaganda yang dilemparkan oleh segolongan orang yang mengaku pengikut salaf adalah gerakan membabi buta memerangi semua hal-hal "baru" dan mengingkarinya dengan tuduhan bahwa itu adalah bid'ah yang sesat padahal syariat islam sendirilah yang mengharuskan kita untuk membagi bid'ah menjadi bid'ah yang baik dan bid'ah yang buruk.

Masalah bid'ah memang telah lama menjadi perdebatan di kalangan internal umat islam bahkan acapkali berujung konflik terutama pada lapisan akar rumput. Untuk menjernihkan masalah ini kita harus memulainya dari akarnya yaitu hadis yang menjadi landasan ideologi mereka. Jika kita sudah mengkajinya lebih dalam kita akan mengerti apa yang dimaksud bid'ah pada hadis tersebut.

Klasifikasi bid'ah menjadi bid'ah hasanah dan bid'ah sayyi'ah merupakan pendapat yang telah ditetapkan oleh para ulama yang diakui sebagai pakar qur'an dan hadis dari pendahulu umat ini semoga allah meridhoi mereka seperti al'izz bin abdissalam, nawawi, suyuthi, mahalli dan ibnu hajar.

Hadis-hadis nabi saling menjelaskan dan berkaitan satu sama lain sehingga kita harus melihat kesemuanya sebagai satu keseluruhan dan mengarahkannya sesuai dengan aturan dan metode yang telah ditetapkan dan disepakati oleh ulama. Tidak boleh kita mengambil mentah-mentah satu hadis tanpa mempelajari keseluruhan hadis lainnya yang masih berkaitan sebelum mengambil kesimpulan hukum dari hadis tersebut. Karena itulah kita menemukan banyak hadis yang penafsirannya membutuhkan kajian dan telaah lebih lanjut dari pakarnya dengan mengacu kepada standar yang telah diakui dan ditetapkan. Merumuskan syari'ah hanya boleh dilakukan para expert setelah melakukan analisa mendalam dengan memperhatikan dinamika sosial masyarakat dan mengarahkan hadis nabi sesuai dengan metode yang telah dikembangkan para ulama.

Termasuk kategori hadis di atas adalah sabda nabi "orang yang memiliki rasa sombong sedikitpun di hatinya tidak akan masuk surga". Dengan hanya melihat hadis ini, kita tidak boleh membuat sebuah kesimpulan bahwa orang yang memiliki sedikitpun rasa sombong tidak akan pernah masuk surga tetapi kita harus melihat secara menyeluruh, mengkaji dan meneliti apakah ada hadis lain yang masih berkaitan lalu menganalisa untuk merumuskan arah hadis di atas. Rasulullah juga pernah bersabda di lain kesempatan "orang yang masih memiliki iman sedikitpun dalam hatinya akan masuk surga". Dua hadis yang sepertinya tidak saling mendukung dan kontradiktif.

Kedua hadis di atas sepertinya memang bertentangan atau paradoks dan malah menimbulkan kebingungan jika dicerna mentah-mentah. Bisa saja orang yang sombong masih memiliki iman dalam hatinya. Lalu bagaimana statusnya apakah ia tidak akan masuk surga sebagaimana sabda nabi yang pertama atau akan masuk surga seperti bunyi hadis kedua? Di situlah dibutuhkan kejelian dan studi kritis untuk mengarahkan dan menafsirkan sebuah hadis dan itu hanya bisa dilakukan oleh mereka pakar hadis yang mengenal dan menghapal banyak hadis sehingga tidak terjadi disinterpretasi atau kesalahpahaman.

Para ulama telah memadukan maksud kedua hadis di atas sehingga tidak menimbulkan kontradiksi. Maksud hadis pertama adalah orang yang memiliki rasa sombong dalam hatinya tidak akan termasuk golongan mereka yang pertama-tama masuk surga, artinya mereka bisa masuk surga tapi bukan yang pertama-tama memasukinya. Sedangkan hadis kedua berarti mereka yang masih memiliki iman sedikitpun dalam hatinya maka ia akan masuk surga meski mungkin saja itu terjadi setelah melewati tahapan siksa neraka untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya di dunia.

Begitu pula hadis nabi "semua bid'ah adalah sesat". Secara eksplisit hadis ini memang berarti semua bid'ah adalah sesat, tetapi sesuai dengan kaidah yang telah dirumuskan, tidak semua orang bisa menerapkan hadis nabi secara praktis lalu serta merta menggeneralisasikan hadis diatas untuk semua "hal baru". Bukan kapasitas kita mencomot langsung sebuah hadis untuk istinbath hukum langsung dari hadis tersebut. Perlu dilakukan telaah secara komprehensif karena masih banyak hadis-hadis lain yang berkaitan lalu dilakukan perpaduan sehingga bisa ditentukan maksud dari hadis tersebut.

Jika menilik redaksi hadis bid'ah yang bersifat umum lalu melihat perilaku para sahabat sebagai generasi terdekat yang tentunya paling memahami hadis nabi dari sudut kontekstual yang melingkupinya maka bisa ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud bid'ah pada hadis tersebut adalah bid'ah sayyi'ah, bida'h yang menyalahi norma syari'ah yang telah berlaku bukan semua hal baru hasil kreasi atau ijtihad para ulama yang mewarnai praktek ibadah umat islam dan bernilai positif tanpa menodai misi utama beribadah. Para sahabat nabi tidak menutup pintu untuk hal-hal positif yang belum pernah terjadi di zaman nabi saw. seperti kodifikasi al-qur'an yang terjadi pada era sayyidina utsman.Toh itu juga berangkat dari hadis nabi yang lain. Nabi bersabda yang kesimpulannya "barang siapa yang menjadi pelopor bagi tradisi yang bagus maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala mereka yang mengamalkannya hingga hari kiamat".

Masih ada satu lagi yakni definisi bid'ah, berasal dari bahasa arab yang berarti hal baru, yang masih menjadi perdebatan. Jika mereka, orang yang memproklamirkan diri mengusung gerakan pemurnian islam itu menyalahkan kita karena membagi bid'ah menjadi dua macam dengan beralasan nabi sendiri tidak membaginya –di hadis tersebut- menjadi dua, maka kita mempunyai argumen bahwa nabi juga tidak membagi bid'ah menjadi bid'ah diniyyah dan dunyawiyyah seperti yang mereka katakan. Ini berarti kata bid'ah pada hadis tersebut tidak general. Masih perlu peninjauan pada hadi-hadis nabi yang lain untuk menentukan apa definisi bid'ah dan hadis nabi jualah yang menuntun kita untuk membaginya menjadi dua macam seperti pemaparan sebelumnya.

3 komentar:

  1. Saudaraku yang jujur, baik hati, tidak sombong, dan tentunya suka menabung.
    Penjelasan potongan kalimat ”kulla bid'atin dholalah” (setiap bid'ah itu sesat) dapat dilihat pada potongan kalimat hadits selanjutnya yaitu ”wa kulla dholalatin fin nar” (dan setiap kesesatan tempatnya di neraka). Menurut penafsiran saudara bahwa kata kulla pada ”kulla bid'atin dholalah” itu berarti tidak semua/setiap, tetapi ada pengecualian-pengecualian, jadi ada bid'ah yang tidak sesat atau ada bid'ah hasanah. Maka saya mencoba mengikuti alur pemikiran saudara untuk diterapkan juga pada potongan kalimat hadits selanjutnya ”wa kulla dholalatin fin nar”, maka ada kesesatan yang tidak masuk neraka alias ada kesesatan yang masuk surga. Saudara ternyata punya selera humor juga ya.
    Adapun para sahabat nabi, semuanya adalah ahli ijtihad. Ijtihad mereka bisa benar dan bisa salah.

    BalasHapus
  2. ada alasan kenapa bid'ah harus terbagi menjadi dua.. yaitu hadis nabi yang awalnya "man sanna sunnatan hasanatan, fa lahu ajruha wa ajru man amila biha"..

    untuk alasan inilah ulama mengklasifikasi bid'ah menjadi dua, bid'ah hasanah dan bid'ah sayyi'ah..

    tentu saja lucu dan salah jika pendekatan yang sama diterapkan pada teks lain (kullu dholalah) tanpa alasan apapun.. dan tentu saja pengandaian anda salah besar...

    BalasHapus
  3. مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ . ومَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

    "Siapa yang memulai membuat contoh kebaikan dalam Islam maka ia mendapat pahala perbuatannya dan pahala orang-orang yang mengikuti (meniru) perbuatannya itu "

    Bahwa orang yang menyampaikan ucapan tersebut adalah orang yang menyatakan pula : "Setiap bid'ah adalah kesesatan". yaitu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan tidak mungkin sabda beliau sebagai orang yang jujur dan terpercaya ada yang bertentangan satu sama lainnya, sebagaimana firman Allah juga tidak ada yang saling bertentangan. Kalau ada yang beranggapan seperti itu, maka hendaklah ia meneliti kembali. Anggapan tersebut terjadi mungkin karena dirinya yang tidak mampu atau karena kurang jeli. Dan sama sekali tidak akan ada pertentangan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala atau sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

    Dengan demikian tidak ada pertentangan antara kedua hadits tersebut, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan : "man sanna fil islaam", yang artinya : "Barangsiapa berbuat dalam Islam", sedangkan bid'ah tidak termasuk dalam Islam; kemudian menyatakan : "sunnah hasanah", berarti : "Sunnah yang baik", sedangkan bid'ah bukan yang baik. Tentu berbeda antara berbuat sunnah dan mengerjakan bid'ah.

    Jawaban lainnya, bahwa kata-kata "man sanna" bisa diartikan pula : "Barangsiapa menghidupkan suatu sunnah", yang telah ditinggalkan dan pernah ada sebelumnya. Jadi kata "sanna" tidak berarti membuat sunnah dari dirinya sendiri, melainkan menghidupkan kembali suatu sunnah yang telah ditinggalkan.

    Ada juga jawaban lain yang ditunjukkan oleh sebab timbulnya hadits diatas, yaitu kisah orang-orang yang datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mereka itu dalam keadaan yang amat sulit. Maka beliau menghimbau kepada para sahabat untuk mendermakan sebagian dari harta mereka. Kemudian datanglah seorang Anshar dengan membawa sebungkus uang perak yang kelihatannya cukup banyak, lalu diletakkannya di hadapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Seketika itu berseri-serilah wajah beliau dan bersabda.

    "Siapa yang memulai memberi contoh kebaikan dalam Islam maka ia mendapat pahala perbuatannya dan pahala orang-orang yang mengikuti (meniru) perbuatannya itu ..".

    Dari sini, dapat dipahami bahwa arti "sanna" ialah : melaksanakan (mengerjakan), bukan berarti membuat (mengadakan) suatu sunnah. Jadi arti dari sabda beliau : "Man Sanna fil Islaami Sunnatan Hasanan", yaitu : "Barangsiapa melaksanakan sunnah yang baik", bukan membuat atau mengadakannya, karena yang demikian ini dilarang. berdasarkan sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam :
    "Kullu bid'atin dhalaalah".

    [Disalin dari buku Al-Ibdaa' fi Kamaalisy Syar'i wa Khatharil Ibtidaa' edisi Indonesia Kesempurnaan Islam dan Bahaya Bid'ah karya Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin]

    Dari Sa'id bin Musayyab Radhiyallahu anhu, bahwa ia melihat seseorang mengerjakan lebih dari dua rakaat shalat setelah terbit fajar. Lalu beliau melarangnya. Maka orang itu berkata, "Wahai Sa'id, apakah Allah akan menyiksa saya karena shalat?", lalu Sa'id menjawab :"Tidak, tetapi Allah akan menyiksamu karena menyalahi sunnah"
    [SHAHIH. HR Baihaqi dalam "As Sunan Al Kubra" II/466, Khatib Al Baghdadi dalam "Al Faqih wal mutafaqqih" I/147, Ad Darimi I/116]

    BalasHapus