Cari Blog Ini

11 Mei 2011

PONPES SALAFIYAH PASURUAN, Tradisi Salaf Bercorak Modern


Salafiyah, telah lama berdiri kokoh menjaga tradisi salafi bertahan di  tengah kepungan modernitas kota. Tak ingin tertinggal, Salafiyah mengikuti tuntutan masyarakat dengan mengadakan pendidikan formal yang diselenggarakan pemerintah.
Sejarah Perintisan Ma’had
Sebagaimana cikal bakal pesantren pada umumnya di tanah Jawa, Pondok Pesantren Salafiyah Pasuruan berawal dari sebuah langgar  (surau) sebagai pusat pengajaran agama Islam di wilayah Kebonsari Pasuruan kurang lebih 1800-an masehi. Di langgar tersebut dibangun beberapa kamar sederhana untuk menginap para santri. Tapi dari langgar yang sederhana inilah tumbuh sebuah pesantren yang kini umurnya telah dua abad lebih.
Lazimnya pesantren di Jawa Timur yang dikenal sebagai basis persemaian ajaran Islam ala Ahlussunnah wal jama`ah, pesantren Salafiyah berdiri kokoh sebagai penerus dan pembela gigih tegaknya ajaran Islam ala Ahlussunnah wal jama`ah. Ciri dominan dari posisi yang diambil pesantren Salafiyah ini di antaranya adalah segala pengajaran yang dikembangkan di pesantren ini menganut fiqh madzhab Syafi’î, meski tidak menutup kemungkinan adanya kajian-kajian lintas madzhab sebagai upaya menambah khazanah kuantitas ilmu para santri.
Selain itu, pesantren Salafiyah mengembangkan pengajaran kepada para santri akan pentingnya moral religius dalam berpikir, bersikap dan bertindak sebagai satu-satunya way of life dalam bermasyarakat dan bernegara. Penanaman moralitas ini dilakukan baik dengan cara tutur maupun teladan, juga dengan cara olah batin (riyadlah) lewat pelaksanaan ibadah dan pembacaan berbagai awrad (wirid-wirid) secara berjama`ah. Sehingga dengan cara demikian, antara fiqh dan tasawuf bisa diterapkan secara bersama tanpa saling menafikan.

Sejak abad 18, Bentengi Akidah di Tengah Hingar Bingar Kota
Embrio berdirinya Pondok Pesantren Salafiyah adalah sebuah langgar yang didirikan oleh Kyai Hasan Sanusi (Mbah Slagah) di suatu dusun yang bernama Kebonsari kira-kita pada tahun 1779 M. Dari langgar ini, yang biasa disebut sebagai Langgar Gede, dilangsungkan pengajaran dan penyebaran Islam secara intensif dan berkesinambungan hingga Kyai Hamdani, cucu Mbah Slagah, berinisiatif untuk menambah satu langgar lagi sebagai sarana proses belajar dan dibangun pula bilik-bilik sederhana untuk menampung para santri. Perkembangan langgar ini semakin tahun semakin pesat dengan terus berdatangannya para santri dari berbagai daerah di sekitar Pasuruan hingga secara tidak langsung berdirilah sebuah kompleks pondok pesantren yang berporos pada tiga unsurnya, yaitu rumah atau dalem kyai, langgar atau masjid serta bilik-bilik santri.
Pada masa kepemimpinan Kyai Yasin (w. 1351 H), mulai dikenal kurikulum pendidikan Madrasah yang dikenal sebagai Madrasah Sunniyah. Hanya saja, Madrasah ini tidak menyatu dengan kompleks pondok pesantren namun diletakkan di dekat Masjid Jami’ Pasuruan. Agaknya hal ini agar tidak berbenturan dengan sistem pengajaran di pesantren sendiri yang telah berlangsung sekian lama. Setelah beliau wafat, secara berturut-turut estafet kepemimpinan pesantren dipegang oleh Kyai Mas Sahalullah, Kyai Muhammad bin Yasin, Kyai Abdullah bin Yasin, Kyai Ahmad Qusyairi bin Shiddiq serta Kyai Ahmad bin Sahal, sebelum akhirnya kepemimpinan pesantren dipegang oleh Romo Kyai Hamid.
Pada masa Kyai Hamid, Pondok Pesantren Salafiyah mengalami pertumbuhan yang signifikan dimulai dengan memberlakukan sistem madrasah di dalam pondok yang sebelumnya hanya diselenggarakan terpisah di luar pondok pada tahun 1971. Kurikulum madrasah dirancang sendiri dengan berlandaskan pada asas pengajaran salafi, bukan madrasah formal. Sistem demikian terus bertahan hingga saat ini. Pada masa beliau pula, didirikanlah pesantren putri dengan sistem dan kurikulum pengajaran yang sama persis dengan pesantren putra. Keluasan ilmu dan kearifan Kyai Hamid telah menarik hati para orangtua dari berbagai daerah di Indonesia dan membuat mereka mempercayakan pendidikan putra-putrinya kepada beliau untuk ditempa sebagai kader-kader pengibar panji-panji Islam yang kukuh dan digdaya.
Sepeninggal Kyai Hamid estafet kepemimpinan diteruskan oleh Kyai Aqib bin Yasin, putra terakhir Kyai Yasin. Setelah Kyai Aqib wafat, dibentuklah Dewan Kenadhiran sebagai upaya menjaga keberlangsungan pondok pesantren, hasil musyawarah Shulaha ahlil balad. Untuk pertama kalinya diangkat sebagai anggota Dewan Nadhir adalah KH M. Sholeh Ahmad Sahal, KH M. Idris Hamid dan KH Ahmad Taufiq Aqib. Saat ini kepemimpinan dalam Dewan Nadhir dikendalikan oleh KH M. Zakky Ubeid (pengganti KH M. Sholeh Ahmad Sahal yang telah wafat), KH M Idris Hamid dan KH Ahmad Taufiq Aqib.
Pendidikan Formal, Memenuhi Kebutuhan Msyarakat
Sejak tahun 2000, Pondok Pesantren Salafiyah Pasuruan terpilih sebagai pilot project pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun (WAJAR DIKDAS) pola pondok pesantren Salafiyah, di samping beberapa pesantren salafi di Indonesia. Langkah ini adalah upaya strategis baik bagi penuntasan program wajib belajar pendidikan dasar maupun bagi Pondok Pesantren Salafiyah Pasuruan sendiri. Sebab, perkembangan masyarakat dewasa ini memerlukan standar-standar formalitas dalam distribusi peran-peran fungsional di masyarakat.
Untuk memadukan hal yang diametral ini, lewat kebijakan bersama Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Agama tentang Pondok Pesantren Salafiyah sebagai Pola Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun (WAJAR DIKDAS), Pondok Pesantren Salafiyah Pasuruan mengambil inisiatif untuk terlibat dalam program ini. Di samping karena masuknya program ini sama sekali tidak mengganggu independensi kurikulum yang diterapkan serta sistem pengajaran salafy yang selama ini tetap diyakini, juga materi pelajaran yang dituntut untuk mengikuti program ini pada dasarnya telah lama diajarkan di Madrasah Salafiyah. Yang diperlukan hanyalah penyesuaian format, bahan dan modul sesuai yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Secara umum, program ini terbagi menjadi dua jenjang, yaitu Program Awaliyah atau setingkat Sekolah Dasar dan Program Wustho atau setingkat Sekolah Menengah Pertama. Ijasah yang dikeluarkan dari kedua program tersebut adalah formal dan setara sehingga dapat digunakan sebagaimana layaknya ijasah formal.
          Progran pendidikan Paket C adalah inovasi lanjutan setelah berjalannya program Wajar Dikdas di Madrasah Salafiyah. Sebagai kelanjutan program wajar dikdas, pada tahun 2002 mulai diselenggarakan program pendidikan Paket C yang setara Sekolah Menengah Atas.

Agenda Ma’hadiyyah
Ruh sebuah pesantren di manapun adalah keyakinan bahwa persenyawaan antara intelektualitas dan spiritualitas adalah conditio sine qua non (realitas yang mutlak adanya) bagi upaya pencapaian kemashlahatan duniawi maupun ukhrawi bagi pribadi maupun masyarakat. Equilibrium (keseimbangan) antara ketiga unsur senyawa di atas; intelektualitas dan spiritualitas, kemashlahatan duniawi dan ukhrawi, serta kepentingan individu dan masyarakat, menjadi titik masuk dalam seluruh proses pembinaan para santri. Kesemuanya itu tetap berlandaskan jalan lurus ajaran Islam di bawah sinaran suluh assalafu assholih (para pendahulu nan bijak).
Proses pembinaan ini biasa disebut dalam tradisi pesantren sebagai suluk (upaya yang terus menerus) menuju pencapaian haqiqi sebagai muslim yang sempurna. Suluk dimaksud ditandai dengan situs pesantren yang membentuk garis linear yang dimulai dari bilik-bilik santri (sebagai tempat dimulainya kesadaran), langgar atau masjid (sebagai tempat pembinaan dan penggemblengan mental spiritual sekaligus intelektual) dan rumah atau dalem kiai (sebagai titik pencapaian kearifan dan kesempurnaan).  Seseorang yang hendak ”nyantri” maka ia harus memulainya dari kesadaran untuk berubah dan menerima segenap ajaran pesantren, untuk kemudian ditempa di langgar atau musholla dengan berbagai olah batin dan akal, hingga pada akhirnya diharapkan ia akan mencapai kearifan dan kesempurnaan sebagai muslim sebagaimana yang telah diperankan oleh kiai.
Shalat berjamaah lima waktu dan pembacaan wirid merupakan agenda wajib bagi setiap santri. Hal ini selain untuk memupuk kedisiplinan dalam beribadah dan membiasakan praktek ibadah-ibadah sunnah, yang tidak kalah pentingnya adalah untuk mengisi ruang-ruang batin segenap santri dengan dzikir dan sikap berserah diri hanya kepada Allah swt.
          Sebagaimana di berbagai pondok pesantren, meskipun program pengajaran di Pondok Pesantren Salafiyah telah dijalankan dalam sistem madrasiyah, namun model-model pengajian khas pesantren, baik sistem bandongan maupun sorogan, masih tetap dipertahankan. Pola pengajaran model pengajian akan sangat membantu para santri dalam melatih ketekunan dalam penelaahan literatur klasik, di samping sebagai proses pengayaan pengetahuan para santri yang tidak cukup diakomodasikan dalam kurikulum madrasah.
          Pengajian juga menjadi wahana persentuhan intens dan interaktif antara kiai dan santri dalam mentransmisikan segenap khazanah intelektual pesantren sekaligus menjadi proses internalisasi para santri di bawah bimbingan langsung kiai. Kekayaan intelektual dan spiritual kiai ibaratnya seperti telaga bagi para santri dalam tholabul ’ilmi dan dalam menjalani proses suluknya. Melalui pengajian, para santri mendapatkan kesempatan yang sangat berharga dalam memuaskan dahaga intelektual dan spiritualnya dengan mereguk telaga pesantren.
          Dengan sistem bandongan, kiai maupun asatidz yang mendapat kewajiban mengasuh pengajian membacakan berbagai kitab klasik, utamanya seputar pembinaan akhlaq, fadhailul a`mal, tasawwuf dan hadits-hadits pilihan, untuk disimak para santri sesuai dengan tingkat kemampuannya. Kitab-kitab tersebut di antaranya: Ta`limul Muta`allim, Tanwirul Qulub, Bidayatul Hidayah, Ihya’ Ulumuddin,  Washiyyatul Mushtofa, Tanbihul Ghafilin, Riyadlus Sholihin dan Mawahibus Shomad.
          Sistem sorogan dalam pengajian dilakukan sebagai latihan qiro’atul kutub bagi para santri dengan cara para santri secara individual membaca satu kitab tertentu sedangkan pengasuh pengajian sorogan ini menyimak, mentashhih bacaan serta menjelaskan isi kitab. Pilihan kitab yang dibaca pun disesuaikan dengan tingkat kemampuan para santri sendiri. Sorogan demikian pada prakteknya diasuh oleh santri-santri senior yang ditunjuk sebagai pendamping kelompok-kelompok sorogan.
Bukti Dedikasi Kepada Masyarakat
Pesanten Salafiyah juga ingin ikut andil menjemput bola dalam membangun masyarakat religius yang disalurkan melalui LPM (Lembaga Pengabdian Masyarakat). Secara keseluruhan, program-program yang digulirkan dalam kerangka khidmah ijtima`iyah ini memusatkan orientasinya pada pemberdayaan keberagamaan masyarakat. Hal ini dirasa penting karena dalam kerangka pemberdayaan masyarakat pada umumnya, sentuhan dan bahasa agama adalah titik masuk yang sanggup membumikan pesan-pesan kemanusiaan serta mampu menggugah kesadaran dan aktivisme sosial masyarakat. Sudah barang tentu hal ini membutuhkan metode yang tepat dan pendekatan yang memadai untuk tidak terjebak pada penciptaan angan-angan dan gagasan-gagasan yang melangit atas nama agama.
Baca Selengkapnya...

Semarak Idul Adha 1432 H Rekor Baru Jumlah Kurban





Rabu 17 November 2010 suasana Pondok Pesantren Darullughah Wadda’wah terlihat berbeda dari biasanya. Masuknya waktu maghrib dengan kumandang adzan sebagai tanda waktu berbuka puasa bagi mereka yang berpuasa sunnah Arofah juga menjadi tanda masuknya malam Idul Adha 1431 H yang setelahnya diramaikan dengan suara takbir yang bersahut-sahutan di masjid.
            Setelah seluruh santri mengisi hari pertama liburan Idul Adha dengan melaksanakan ibadah puasa Arofah pada 9 dzulhijjah, malam hari raya Idul Adha disemarakkan dengan lomba takbir yang dikoordinir oleh Qismu Da’wah
            Diantara cabang-cabang lomba yang diadakan adalah Lomba Pidato dengan tiga bahasa, Lomba Baca Kitab, Lomba Karya Tulis dan Lomba cerdas cermat dalam Bahasa Arab yang dalam hal ini dikoordinir oleh Qismu Lughah.
            Pada tahun ini panitia qurban berhasil mengumpulkan hewan qurban sebanyak 138 ekor kambing dan 7 ekor sapi yang berasal dari para wali santri melalui anak-anaknya atau pun para dermawan baik berupa uang maupun hewan qurban.
Patut disyukuri karena jumlah hewan qurban di Pesantren ini setiap tahun meningkat, sebagaimana diutarakan oleh Ust.Ismail Ayyub selaku penasehat panitia qurban, Daging hasil pemotongan hewan qurban disalurkan oleh panitia kepada faqir miskin sekitar lingkungan pondok pesantren dan juga kepada para asatizdah dan  para santri. HMD


Menghidupkan Syi’ar dengan Menyambut Tahun Baru Islam


Selasa, 7 Desember 2010, suasana di pesantren Darullughah Wadda’wah terlihat ramai dan meriah. Hari itu bertepatan dengan pergantian tahun baru Islam yang diperingati tiap tanggal satu Muharram yang jatuh di hari tersebut. Nuansa meriah sudah mulai terasa di area sekitar pondok yang dipenuhi dengan ucapan selamat tahun baru dari berbagai instansi di dalam pondok, dilanjutkan dengan pesta kembang api pada malam hari yang luar biasa indah.
Acara pada hari bersejarah itu diisi dengan berbagai event menarik seperti bazar yang diikuti oleh berbagai elemen santri yang menjajakan masakan kreasi mereka dan pedagang dari luar pesantren yang turut serta mengisi bazar tersebut. Selain bazar, pesantren juga mengadakan berbagai lomba di antaranya lomba yang mengadopsi pencarian bakat yang marak di televisi dengan tajuk Dalwa Mencari Bakat dan cerdas cermat arobiyah dan fiqih (matan zubad).AF

Baca Selengkapnya...

Dr. Said Inayatullah : “Islam Menghormati Tradisi Selama Tidak Mengandung Hal-Hal yang Diingkari oleh Syariat”





Bulan muharram di Indonesia identik dengan berbagai macam tradisi yang mewakili budaya masyarakat di tiap daerah. Tradisi tersebut boleh berupa aneka ritual dan kegiatan yang terkadang masih diragukan keabsahannya oleh agama. Entah dari mana asalnya, berbagai perayaan ini diadakan bertepatan dengan bulan Muharram yang merupakan salah satu dari empat bulan yang dimuliakan dalam Islam dan juga bulan yang penuh sejarah. Untuk mengetahui lebih dalam bagaimana Islam memandang posisi tradisi dalam syariat Islam, berikut ini hasil wawancara Syafiq al-Idrus  dengan Dr. Said Inayatullah dari Makkah di sela kunjungannya ke Pesantren Darullughah Wadda’wah sebelum menghadiri seminar internasional di Pasuruan dalam rangkaian acara beliau di Indonesia.

Bagaimana pendapat Syaikh tentang tradisi?
Menurut saya, Islam menghormati tradisi dan kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Telah diriwayatkan dari nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam sebuah hadis yang terkenal bahwa beliau berkata kepada istrinya, Ummul Mu’minin ‘Aisyah radhiyallahu anha : Kalau bukan karena kaummu baru melewati masa jahiliyyah, sungguh akan aku robohkan ka’bah dan aku jadikan dua pintu, pintu timur dan pintu barat. Dan akan aku tambahkan enam dziro’. Sesungguhnya kaum Quraisy menguranginya ketika ketika membangun ka’bah ” (HR Muslim).  Ini adalah hal yang besar karena muncul dari nabi Muhammad saw., karena sabdanya adalah tasyri’ (menjadi syari’at) begitu pula apa yang beliau kerjakan. Tradisi memang berbeda-beda, kecuali jika tradisi tersebut termasuk hal yang mungkar maka haram. Jika suatu daerah memiliki tradisi minum minuman keras (khamr), maka tentu saja ini haram.
Dalam berpakaian, kita tidak memaksa mereka memakai pakaian yang sama dengan kita (orang arab), karena tujuan dari berpakaian adalah menutup aurat dan itu bisa dilakukan dengan pakaian apa saja. Begitu pula jika seseorang memiliki metode sendiri dalam berdakwah, menasehati manusia, mereka mendirikan sekolah, menyampaikan pengajaran dalam masjid, berkumpul beramai-ramai dalam acara resepsi atau menunjungi orang sakit, di situlah islam mengakui kebiasaan mereka. Para pendidik (syaikh) memiliki cara tersendiri dalam mendidik muridnya. Dalam membaca dzikir, membaca wirid, membaca alqur’an. Tidak ada satu pun dari kita yang memiliki dasar nash shohih baik dari al-quran atau hadis atas hal ini (membaca dzikir, wirid, dan al-qur’an dengan konsep yang seperti kita jumpai). Jika terdapat satu perintah yang disyari’atkan, orang-orang akan berbeda-beda dalam prakteknya.
Para masyasyikh di India dan Pakistan memiliki praktek yang berbeda dalam mendidik anak didik mereka. Saya sudah melihat di sana. Pada dasarnya, terdapat perintah untuk mengajari dan mendidik. Maka terserah bagaimana penerapannya. Saya mendapati sebagian orang mengingkari beberapa hal yang ashl(landasan hukum)nya disyari’atkan. Tetapi mereka mempertanyakan dalil untuk praktek yang berlandaskan pada ashl tersebut. Ini menunjukkan ketidaktahuan mereka. Adakah dalil tentang mendirikan madrasah dalam al-qur’an? Dalam hadis? Tidak ada. Tapi dalil untuk ashl nya ada yaitu mengajar. Sebagian orang memilih ceramah, sebagian lagi melalui televisi, sebagian lagi mendirikan universitas. Menghadapi perkembangan teknologi mutakhir saat ini, kita harus melihat landasan hukum dan tujuan syariat (maqshadus syari’ah). Apa yang menyampaikan kita terhadap tujuan tersebut maka itu juga disyariatkan dan tidak sepatutnya diingkari.

Bagaimana jika tradisi mengandung unsur syirik, atau didapati lagu dan bercampur antara lelaki dan wanita meski mereka menutup aurat?
Saya sudah bilang, islam menghormati adat selama tidak mengandung hal-hal yang diingkari oleh syariat. Jika tidak ada, maka tidak apa-apa.


diterjemahkan oleh Amiruddin Fahmi
Baca Selengkapnya...