Cari Blog Ini

01 Desember 2013

“Al-Ghuluw”, Ternyata Islam Tidak Mengajarkan Fanatisme

Orang besar dikenal dan dikenang melalui karyanya. Banyak orang pernah mendengar nama besar Sayyid Muhammad Al-Maliki yang  disebut sebagai Ulama Ahlussunnah Abad Ini. Namun tak banyak yang benar-benar tahu kebesaran dan luasnya ilmu beliau yang bisa dilihat melalui karyanya. Salah satu dari karya besar yang menunjukkan kematangan, kedewasaan dan keluasan anugerah ilmu dan hikmah yang Allah berikan untuk beliau adalah kitab berjudul “ Al-Ghuluw Wa Atsaruhu Fil Irhab Wa Ifsadil Mujtama’”. Sebuah risalah ringkas namun memiliki bobot keilmuan yang luar biasa. Karya tulis ini menunjukkan kematangan beliau dalam berislam dan mengajarkan bagaimana memahami Islam dengan bijak tanpa menampilkan sikap arogan dan egois.

Bermula dari keikutsertaan beliau pada forum diskusi nasional (di Arab Saudi) yang digagas langsung oleh Al-Amir Abdullah bin Abdul Aziz bulan Rajab tahun 1424 H. silam. Forum yang merupakan agenda kenegaraan Arab Saudi ini melibatkan berbagai unsur masyarakat agar ikut andil menyampaikan pendapatnya yaitu para ulama, akademisi pendidikan dan cendekiawan. Sesuai tema yang diusung yaitu “pandangan terhadap sikap fanatik dan moderat” beliau diundang sebagai pembicara dalam kapasitasnya sebagai ulama dan pemikir Islam. Maka dalam konteks inilah beliau sayyid Muhammad kemudian menulis risalah ini.
Sebagaimana dijelaskan dalam pembukaan kitab, beliau menyayangkan keterlambatan ajakan dan kesediaan untuk membuka ruang diskusi yang membahas mengenai praktek fanatisme. Alangkah baiknya jika acara ini diadakan sejak lama seraya mengingatkan bahwa beliau telah mengajak bertukar pikiran dan pandangan 20 tahun sebelumya sebagaimana tertulis dalam kitab beliau yang populer “Mafahim Yajibu An Tushohhah”. Akibatnya, sikap fanatik atau salah memahami ajaran dalam islam telah mengakibatkan lahirnya banyak korban dari pihak kaum muslimin sendiri.

Kitab ini memiliki nama lengkap Al-Ghuluw Wa Atsaruhu Fil Irhab Wal Mujjtama’, artinya “Fanatisme dan dampaknya terhadap teror dan masyarakat”. Versi aslinya diterbitkan oleh penerbitan pribadi Sayyid Muhammad dengan isi 78 halaman. Risalah ini terdiri dari beberapa bagian. Materi utama merupakan makalah yang beliau sajikan sebagai pembicara dalam forum nasional tersebut. Menyusul kemudian tulisan yang merupakan tanggapanuntuk menanggapi pendapat-pendapat tentang “fanatisme” yang beredar dalam forum.

Bagaimana Rasulullah Menyikapi Fanatisme Umatnya

Sebelum berbicara lebih jauh, Sayyid Muhammad membuka risalahnya dengan memberikan definisi dan pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan ghuluw atau sikap fanatik yang berarti berlebihan. Ghuluw adalah melebihi batas keseimbangan dan prinsip keadilan yang diperbolehkan dan dianjurkan dalam Islam. Sebagaimana Allah memuji umat Rasulullah dalam alqur’an sebagai umat yang adil (wasath, tengah-tengah) pada surat Al-Baqarah ayat 143.

Dijelaskan dalam kitab ini, bahwa pada dasarnya, laten sikap fanatik atau berlebihan telah mengakar sejak umat terdahulu. Alqur’an telah menyebutkan kesalahan umat Yahudi dan Nasrani dalam berbagai ayat alqur’an seperti pada surat An-Nisa’ ayat 171. Rasulullah sendiri tak urung juga mengingatkan umatnya untuk menjauhi sikap berlebihan dalam beragama. Rasulullah juga mengingatkan umatnya agar belajar dari kesalahan umat sebelumnya (ahlul kitab) yang celaka karena fanatisme berlebihan dalam beragama (HR Ahmad). Sudah umum didapati di masa Rasulullah praktek “transaksi liar” yang dilakukan sebagian ulama Nasrani dan Yahudi. Praktek semacam ini banyak sekali disinggung dalam Al-Qur’an dengan sebutan Jual-Beli Ayat. Praktek tersebut mungkin terjadi disebabkan melalui kejelian mereka menyalahgunakan fanatisme berlebihan dari umatnya sehingga Al-Qur’an menyebut ulama Yahudi dan Nasrani telah menuhankan diri mereka (Al-Ahzab ayat 31) .

Sayyid Muhammad juga menyertakan salah satu contoh yang sangat brilian mengenai praktek sikap fanatik atau berlebihan  yang terjadi pada masa hidup Rasulullah supaya dijadikan contoh untuk umatnya di jaman sekarang. Disebutkan dalam Shahih Bukhari, suatu hari sekelompok lelaki berjumlah tiga orang mendatangi rumah Nabi saw. Mereka datang hendak menanyakan tentang ibadah Nabi Muhammad. Begitu dikabari, mereke terkejut setelah mengetahui bahwa ibadah yang dijalankan Rasulullah ternyata tak sebanyak yang mereka bayangkan. Salah satu dari ketiganya berkata, “aku selalu shalat sepanjang malam setiap hari”. Temannya mengatakan, “aku selalu berpuasa setiap hari tanpa berbuka”. Lelaki ketiga juga berkata, “aku menjauhi wanita dan tidak menikah”. Mereka berpikir bahwa mujahadah, tirakat, atau usaha mereka melawan nafsu benar-benar maksimal dan menganggapnya sebagai sebuah kebaikan. Rasulullah kemudian mendatangi mereka dan berkata, “apakah kalian yang mengatakan telah berbuat begini dan begini? Demi allah, aku adalah orang paling bertaqwa di antara kalian dan paling takut kepada Allah. Meski begitu aku berpuasa lalu berbuka, shalat malam juga beristirahat, dan aku juga menikah. Maka siapa yang membenci jalan (sunnah)ku bukanlah termasuk golonganku (Hadis 5063 Bab tentang Anjuran untuk Menikah).

Dari hadis ini, bisa jadi akan melahirkan sebuah pertanyaan pelik. Apakah hadis ini berarti larangan untuk beribadah dengan sunguh-sungguh? Jawabannya adalah tidak. Bersungguh-sungguh dalam ibadah merupakan perintah anjuran syari’at seperti termaktub dalam Surat Al-Ankabut ayat 69, Al-Ahzab ayat 41 dan 42. Namun perlu digaris bawahi, hadis tersebut menekankan umat Islam agar tidak gila beribadah hingga melalaikan tuntutan kebutuhan hidup lainnya. Keranjingan beribadah hingga mewajibkan hal-hal yang tidak diwajibkan oleh syari’at.  Bagaimanapun, keseimbangan hidup merupakan hal penting yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Inilah salah satu bentuk sikap fanatik yang berlebihan dan dilarang dalam Islam.

Reaksi Rasulullah dalam menanggapi kabar yang dihembuskan tiga orang tersebut memiliki banyak pelajaran. Beliau mengajarkan pada para sahabat untuk tidak mendiamkan sikap semacam itu. Beliau juga bergegas menanganinya sendiri seraya menegurnya. Bahwa meskipun beliau adalah jelas Insan yang paling bertaqwa kepada Allah, bukan berarti lalu menghabiskan seluruh hidupnya dengan beribadah serta melalaikan kebutuhan hidup yang lain. Yang baik adalah menemukan keseimbangan antara segala tuntutan keadaan, memberikan yang terbaik untuk Allah tanpa melalaikan hak tubuh dan segala yang menjadi tanggung jawab masing-masing. Inilah bentuk keindahan dan kebaikan rahmat yang diberikan Islam tanpa membebani umatnya.

Dari dokumentasi dan catatan yang terekam dalam kitab ini, umat islam dapat belajar banyak dari ilmu dan hikmah yang terangkum di dalamnya. Selain itu, umat Islam juga dapat belajar dari teladan yang diberikan Sayyid Muhammad tentang nilai-nilai yang sepatutnya dicontoh dan dipegang dalam bersikap. Bagaimana berdiskusi yang santun tanpa menjatuhkan. Etika menyampaikan pendapat. Toleransi dan jiwa besar untuk mendengarkan. Kesediaan untuk berkumpul dan saling mengenal antar aliran dalam islam, bahwa perbedaan pendapat bukanlah alasan untuk tidak berkumpul dalam satu forum yang sehat dan bertujuan baik. Ketika membaca kitab ini, pembaca akan disuguhkan keluasan ilmu yang sedang berbicara langsung, seakan keagungan beliau dihadirkan dalam rupa sajian tertulis. Menilik kharisma dan karakter agungnya, tepat sekali bila beliau menyandang gelar Ulama Ahlussunnah Abad Ini. Selamat menikmati. Wallahu a’lam.

amiruddin fahmi
ditulis untuk Majalah Al-Bashiroh, Media Da'wah PP. Darullughah Wadda'wah

Baca Selengkapnya...

Surat Al-Ashr, Merenung Makna Hidup Manusia Dalam Al-Qur’an

Hidup haruslah bermakna dan berguna. Maka bagaimana sebenarnya hidup yang bermakna? Al-qur’an memiliki bahasa sendiri dalam menegaskan pernyataan tentang hidup bermakna. Allah berfirman dalam al-qur’an surat wal-ashri yang artinya “Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian, kecuali mereka yang beriman, beramal shalih, saling berwasiat dengan kebenaran serta berbuat sabar” (QS Wal-Ashri 1-3).

Surat Al-Ashr menurut mayoritas ulama turun pada fase sebelum rasulullah hijrah ke Madinah. Ayat yang turun pada fase ini disebut dengan ayat Makkiyyah. Tersusun dari tiga ayat dan merupakan surat terpendek dalam al-qur’an bersama surat al-kautsar.

(wal-ashri) artinya “demi masa”.
Ayat ini merupakan bentuk kalimat qosam atau sumpah. Seperti lazimnya berucap sumpah, ini berarti menegaskan pentingnya pesan yang akan disampaikan setelahnya. Al-ashr secara terjemah bahasa bermakna masa, zaman, atau waktu. Dalam ayat ini terdapat penegasan bahwa masa, zaman, waktu, umur manusia, beberapa makna yang merupakan penafsiran ulama tentang arti ayat ini, merupakan hal agung sebab menjadi objek maqsum bihi (media sumpah).  Sehingga waktu merupakan hal yang harus mendapat perhatian. Rasul saw. bersabda dalam hadis, “ada dua nikmat yang terabaikan oleh banyak manusia, yaitu sehat dan waktu luang” (HR. Al-Baihaqi dari Ibn Abbas) .

(innal insana lafi khusrin) artinya sesungguhnya manusia benar-benar rugi”.
 Ayat ini secara tata bahasa merupakan jawabul qosam. Yaitu isi atau pesan yang dimaksud dari penyebutan sumpah pada ayat sebelumnya. Dalam ayat ini sendiri terdapat dua kalimat penegas atau kalimat taukid. Yang pertama adalah kalimat inna. Yang kedua adalah lam yang disisipkan pada khobar dari kalimat inna. Dalam kitab al-futuhat al-ilahiyyah disebutkan, menurut pendapat yang kuat lafadz (al-insan) dalam ayat ini merujuk pada keseluruhan manusia. Alif lam pada kalimat tersebut memiliki pemaknaan lil jinsi, seluruh jenis manusia, sehingga mencakup muslim dan non muslim. Faktor pendukungnya adalah adanya kalimat pengecualian atau istitsna’ setelahnya yang mengecualikan kategori manusia yang beriman dari kelompok manusia yang merugi. (khusrin) berarti merugi atau berkurang. Al-Akhfasy mengartikannya dengan celaka dan ulama lain mengartikannya dengan keburukan.

Status ayat ini sebagai jawabul qosam memberi kesan tersurat bahwa isi ayat ini adalah berita penting yang harus ditanggapi serius. Pentingnya ayat ini dipertegas dengan tambahan adanya dua kalimat taukid di dalamnya. Frase dalam dua ayat pertama surat ini menggunakan tiga kalimat penegasan, yang menguatkan kesan bahwa manusia akan benar-benar selalu dan terus menerus merugi. Tiga kalimat penegas yang dalam istilah gramatika arab disebut dengan ta’kid adalah bentuk kata sumpah, inna dan lam ta’kid.
“Demi Masa. Sesungguhnya seluruh manusia benar-benar rugi, celaka dan dalam keburukan”

(illalladziina amanu wa amilussholihati wa tawashou bil haqqi wa tawashou bisshobri) artinya “kecuali mereka yang beriman dan beramal shalih dan saling berwasiat dengan kebenaran dan saling berwasiat untuk bersabar”.

Kalimat illa dalam ayat ini memiliki makna perkecualian dan merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya. Pada ayat sebelumya telah ditegaskan bahwa seluruh manusia benar-benar merugi, celaka dan dalam keburukan. Pesan ini dilanjutkan dengan menyebutkan golongan manusia yang selamat dari kerugian serta keburukan. Al-Qur’an menyampaikan substansi pesan ini dengan model kalimat pengecualian.

(Wa tawashou) pada ayat ini adalah bentuk fi’il madhi, bukan fi’il amr. Maknanya menjadi berita (kalimat ikhbar) bukan dalih untuk perintah. Kalimat ini merupakan kelanjutan keterangan tentang empat karakter manusia yang tidak merugikan waktunya.(as-shabr) secara alih bahasa berarti sabar. Makna sabar sebenarnya sudah termasuk dalam makna kalimat (al-haqq). Sabar adalah bagian dari makna al-haqq.. Meski begitu Allah mengulangnya kembali mengingat pentingnya kedudukan sabar dalam kehidupan. Sabar adalah menahan diri dan kerelaan menerima. Sabar berbeda dengan malas. Sabar bukan berarti tidak berusaha. Sabar adalah kesediaan menerima hasil yang didapat setelah berusaha dan menahan diri dari malas dengan terus berusaha.

Ayat ini mencakup dua dimensi untuk menggapai makna hidup. Dimensi pertama berfokus pada bagaimana membentuk nilai dan karakter dalam diri. Yaitu dengan menjadi pribadi yang beriman dan beramal baik. Iman adalah sikap hati. Keyakinan. Keyakinan ini yang kemudian menuntun, menjaga dan membimbing manusia untuk terus berada dalam kebaikan. Bermal shalih dan berbuat baik adalah implikasi dari hati yang beriman. Serta ingatlah, iman yang benar dan menenteramkan didapat dan berdasar pada pengetahuan yang benar.

Dimensi kedua berfokus pada bagaimana prinsip manusia dalam bersosialisasi dengan orang lain. (wa tawashou) bukan dalih untuk kemauan mengingatkan saja. Legitimasi untuk berbicara dan berbicara. Lebih penting dari itu, artinya adalah mau menerima nasehat. Kesediaan mendengarkan lawan bicara. Kesediaan menerima kebenaran dari orang lain. (wa tawashou) adalah  tentang berani menyampaikan kebenaran kepada orang lain. Selain itu juga berani menerima kebenaran dari orang lain. Jika empat karakter ini dimiliki seluruh manusia, masyarakat yang terbentuk sangatlah baik dan kehidupan akan berjalan harmonis.

Terdapat empat kategori karakter disebutkan dalam ayat ketiga ini. Beriman, beramal shalih, kesediaan mengingatkan dan diingatkan pada kebenara, dan kesediaan mengingatkan dan diingatkan untuk bersabar.

Mencari Makna Hidup

Di tengah tidak menentunya arus kehidupan, laju modernisasi tak terkendali, budaya tanpa identitas, liarnya pergaulan bebas, kemajuan teknologi dan informasi melebihi batas kendali manusia, pertanyaan tentang tujuan hidup semakin penting dalammendefinisikan diri serta menentukan proyeksi masa depan. Fenomena maraknya pelanggaran aturan yang menghiasi layar kaca bisa jadi merupakan ekses dari hilangnya prinsip dan nilai diri. Manusia bingung menggapai makna eksistensi hingga menghalalkan segala cara mewujudkan mimpi menjadi “sukses”. Sukses yang tidak jelas makna dan tujuannya. Banyak yang tertipu penampilan dan kemasan yang disuguhkan dunia dan melalaikan fitrah hidup manusia.

Apakah gejala kaburnya makna hidup baru muncul di era modern ini saja? Tentu tidak. Fenomena ini telah mengakar lama sepanjang umur manusia itu sendiri. Jika saat ini mobil, rumah mewah, dan wanita cantik yang jadi penegas eksistensi, jaman dahulu bisa lebih liar lagi. Lambang kemewahan dunia berbentuk budak, selir, perhiasan, emas dansutera. Lalu Rasulullah saw. datang dengan Islam menyelamatkan manusia dari kesesatan dan keburukan era jahiliyyah. Islam datang menghapus kepongahan Romawi dan kesombongan Persia sebagai dua adidaya dunia masa itu. (Baca Al-Qur’an Surat Al-Humazah)

Betapa wal-ashri, surat singkat yang barangkali biasa berlalu lalang di lisan seorang mu’min ketika sholat memiliki makna begitu dalam. Empat pilar yang harus menjadi jalan pengabdian hidup manusia. Bagaimana menegaskan eksistensi hidup dengan menjadi pribadi yang beriman, beramal shalih, memiliki kualitas yang sanggup menyampaikan dan menerima nasehat kebenaran, serta untuk selalu bersabar. Empat hal ini menuntun manusia menjalani hidup yang baik untuk Sang Pencipta dan untuk sesamanya. Menunjukkan prinsip pokok bagaimana seharusnya memanfaatkan waktu. Agar umur yang telah Allah berikan tidak berlalu tanpa makna. Tanpa memiliki empat hal ini manusia telah benar-benar merugikan umurnya. Inilah Al-Qur’an, Kalamullah, yang mengantar umat manusia keluar dari era keburukan Jahiliyyah sepanjang masa. Semoga kebaikan Al-Qur’an senantiasa tersampaikan untuk menuntun dan menerangi hidup manusia hingga hari ditiupnya sangkakala.

Daftar rujukan:
Tafsir Al-jalalain
Hasyiyah As-Showi
Tafsir Ar-Rozi
Al-futuhat Al-ilahiyyah
Syu’abul Iman Lil Baihaqi
Al-Muhith Fil Lughah

amiruddin fahmi
ditulis untuk Majalah Al-Bashiroh, Media Da'wah PP. Darullughah Wadda'wah

Baca Selengkapnya...