Cari Blog Ini

01 Desember 2013

Surat Al-Ashr, Merenung Makna Hidup Manusia Dalam Al-Qur’an

Hidup haruslah bermakna dan berguna. Maka bagaimana sebenarnya hidup yang bermakna? Al-qur’an memiliki bahasa sendiri dalam menegaskan pernyataan tentang hidup bermakna. Allah berfirman dalam al-qur’an surat wal-ashri yang artinya “Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian, kecuali mereka yang beriman, beramal shalih, saling berwasiat dengan kebenaran serta berbuat sabar” (QS Wal-Ashri 1-3).

Surat Al-Ashr menurut mayoritas ulama turun pada fase sebelum rasulullah hijrah ke Madinah. Ayat yang turun pada fase ini disebut dengan ayat Makkiyyah. Tersusun dari tiga ayat dan merupakan surat terpendek dalam al-qur’an bersama surat al-kautsar.

(wal-ashri) artinya “demi masa”.
Ayat ini merupakan bentuk kalimat qosam atau sumpah. Seperti lazimnya berucap sumpah, ini berarti menegaskan pentingnya pesan yang akan disampaikan setelahnya. Al-ashr secara terjemah bahasa bermakna masa, zaman, atau waktu. Dalam ayat ini terdapat penegasan bahwa masa, zaman, waktu, umur manusia, beberapa makna yang merupakan penafsiran ulama tentang arti ayat ini, merupakan hal agung sebab menjadi objek maqsum bihi (media sumpah).  Sehingga waktu merupakan hal yang harus mendapat perhatian. Rasul saw. bersabda dalam hadis, “ada dua nikmat yang terabaikan oleh banyak manusia, yaitu sehat dan waktu luang” (HR. Al-Baihaqi dari Ibn Abbas) .

(innal insana lafi khusrin) artinya sesungguhnya manusia benar-benar rugi”.
 Ayat ini secara tata bahasa merupakan jawabul qosam. Yaitu isi atau pesan yang dimaksud dari penyebutan sumpah pada ayat sebelumnya. Dalam ayat ini sendiri terdapat dua kalimat penegas atau kalimat taukid. Yang pertama adalah kalimat inna. Yang kedua adalah lam yang disisipkan pada khobar dari kalimat inna. Dalam kitab al-futuhat al-ilahiyyah disebutkan, menurut pendapat yang kuat lafadz (al-insan) dalam ayat ini merujuk pada keseluruhan manusia. Alif lam pada kalimat tersebut memiliki pemaknaan lil jinsi, seluruh jenis manusia, sehingga mencakup muslim dan non muslim. Faktor pendukungnya adalah adanya kalimat pengecualian atau istitsna’ setelahnya yang mengecualikan kategori manusia yang beriman dari kelompok manusia yang merugi. (khusrin) berarti merugi atau berkurang. Al-Akhfasy mengartikannya dengan celaka dan ulama lain mengartikannya dengan keburukan.

Status ayat ini sebagai jawabul qosam memberi kesan tersurat bahwa isi ayat ini adalah berita penting yang harus ditanggapi serius. Pentingnya ayat ini dipertegas dengan tambahan adanya dua kalimat taukid di dalamnya. Frase dalam dua ayat pertama surat ini menggunakan tiga kalimat penegasan, yang menguatkan kesan bahwa manusia akan benar-benar selalu dan terus menerus merugi. Tiga kalimat penegas yang dalam istilah gramatika arab disebut dengan ta’kid adalah bentuk kata sumpah, inna dan lam ta’kid.
“Demi Masa. Sesungguhnya seluruh manusia benar-benar rugi, celaka dan dalam keburukan”

(illalladziina amanu wa amilussholihati wa tawashou bil haqqi wa tawashou bisshobri) artinya “kecuali mereka yang beriman dan beramal shalih dan saling berwasiat dengan kebenaran dan saling berwasiat untuk bersabar”.

Kalimat illa dalam ayat ini memiliki makna perkecualian dan merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya. Pada ayat sebelumya telah ditegaskan bahwa seluruh manusia benar-benar merugi, celaka dan dalam keburukan. Pesan ini dilanjutkan dengan menyebutkan golongan manusia yang selamat dari kerugian serta keburukan. Al-Qur’an menyampaikan substansi pesan ini dengan model kalimat pengecualian.

(Wa tawashou) pada ayat ini adalah bentuk fi’il madhi, bukan fi’il amr. Maknanya menjadi berita (kalimat ikhbar) bukan dalih untuk perintah. Kalimat ini merupakan kelanjutan keterangan tentang empat karakter manusia yang tidak merugikan waktunya.(as-shabr) secara alih bahasa berarti sabar. Makna sabar sebenarnya sudah termasuk dalam makna kalimat (al-haqq). Sabar adalah bagian dari makna al-haqq.. Meski begitu Allah mengulangnya kembali mengingat pentingnya kedudukan sabar dalam kehidupan. Sabar adalah menahan diri dan kerelaan menerima. Sabar berbeda dengan malas. Sabar bukan berarti tidak berusaha. Sabar adalah kesediaan menerima hasil yang didapat setelah berusaha dan menahan diri dari malas dengan terus berusaha.

Ayat ini mencakup dua dimensi untuk menggapai makna hidup. Dimensi pertama berfokus pada bagaimana membentuk nilai dan karakter dalam diri. Yaitu dengan menjadi pribadi yang beriman dan beramal baik. Iman adalah sikap hati. Keyakinan. Keyakinan ini yang kemudian menuntun, menjaga dan membimbing manusia untuk terus berada dalam kebaikan. Bermal shalih dan berbuat baik adalah implikasi dari hati yang beriman. Serta ingatlah, iman yang benar dan menenteramkan didapat dan berdasar pada pengetahuan yang benar.

Dimensi kedua berfokus pada bagaimana prinsip manusia dalam bersosialisasi dengan orang lain. (wa tawashou) bukan dalih untuk kemauan mengingatkan saja. Legitimasi untuk berbicara dan berbicara. Lebih penting dari itu, artinya adalah mau menerima nasehat. Kesediaan mendengarkan lawan bicara. Kesediaan menerima kebenaran dari orang lain. (wa tawashou) adalah  tentang berani menyampaikan kebenaran kepada orang lain. Selain itu juga berani menerima kebenaran dari orang lain. Jika empat karakter ini dimiliki seluruh manusia, masyarakat yang terbentuk sangatlah baik dan kehidupan akan berjalan harmonis.

Terdapat empat kategori karakter disebutkan dalam ayat ketiga ini. Beriman, beramal shalih, kesediaan mengingatkan dan diingatkan pada kebenara, dan kesediaan mengingatkan dan diingatkan untuk bersabar.

Mencari Makna Hidup

Di tengah tidak menentunya arus kehidupan, laju modernisasi tak terkendali, budaya tanpa identitas, liarnya pergaulan bebas, kemajuan teknologi dan informasi melebihi batas kendali manusia, pertanyaan tentang tujuan hidup semakin penting dalammendefinisikan diri serta menentukan proyeksi masa depan. Fenomena maraknya pelanggaran aturan yang menghiasi layar kaca bisa jadi merupakan ekses dari hilangnya prinsip dan nilai diri. Manusia bingung menggapai makna eksistensi hingga menghalalkan segala cara mewujudkan mimpi menjadi “sukses”. Sukses yang tidak jelas makna dan tujuannya. Banyak yang tertipu penampilan dan kemasan yang disuguhkan dunia dan melalaikan fitrah hidup manusia.

Apakah gejala kaburnya makna hidup baru muncul di era modern ini saja? Tentu tidak. Fenomena ini telah mengakar lama sepanjang umur manusia itu sendiri. Jika saat ini mobil, rumah mewah, dan wanita cantik yang jadi penegas eksistensi, jaman dahulu bisa lebih liar lagi. Lambang kemewahan dunia berbentuk budak, selir, perhiasan, emas dansutera. Lalu Rasulullah saw. datang dengan Islam menyelamatkan manusia dari kesesatan dan keburukan era jahiliyyah. Islam datang menghapus kepongahan Romawi dan kesombongan Persia sebagai dua adidaya dunia masa itu. (Baca Al-Qur’an Surat Al-Humazah)

Betapa wal-ashri, surat singkat yang barangkali biasa berlalu lalang di lisan seorang mu’min ketika sholat memiliki makna begitu dalam. Empat pilar yang harus menjadi jalan pengabdian hidup manusia. Bagaimana menegaskan eksistensi hidup dengan menjadi pribadi yang beriman, beramal shalih, memiliki kualitas yang sanggup menyampaikan dan menerima nasehat kebenaran, serta untuk selalu bersabar. Empat hal ini menuntun manusia menjalani hidup yang baik untuk Sang Pencipta dan untuk sesamanya. Menunjukkan prinsip pokok bagaimana seharusnya memanfaatkan waktu. Agar umur yang telah Allah berikan tidak berlalu tanpa makna. Tanpa memiliki empat hal ini manusia telah benar-benar merugikan umurnya. Inilah Al-Qur’an, Kalamullah, yang mengantar umat manusia keluar dari era keburukan Jahiliyyah sepanjang masa. Semoga kebaikan Al-Qur’an senantiasa tersampaikan untuk menuntun dan menerangi hidup manusia hingga hari ditiupnya sangkakala.

Daftar rujukan:
Tafsir Al-jalalain
Hasyiyah As-Showi
Tafsir Ar-Rozi
Al-futuhat Al-ilahiyyah
Syu’abul Iman Lil Baihaqi
Al-Muhith Fil Lughah

amiruddin fahmi
ditulis untuk Majalah Al-Bashiroh, Media Da'wah PP. Darullughah Wadda'wah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar