Cari Blog Ini

27 November 2011

Home Alone, Pengalaman Tak Menyenangkan Melawan Maling Nekat



Malam ini adalah hari pertama pergantian tahun dalam Islam. Sudah 1433 tahun sejak momen bersejarah hijrah rasulullah saw. dari kota makkah ke kota madinah yang ditetapkan menjadi hitungan awal kalenderisasi islam. Alhamdulillah, islam masih terjaga eksistensinya di dunia yang terus berubah. Pertambahan tahun ini juga menandai bertambahnya usiaku yang kini menuju tahun ke 23 sejak aku dilahirkan. Angka yang sudah cukup banyak ini mengantarku beranjak dari fase remaja menuju fase pencarian diri. Meski sejatinya aku belum berhasil menemukannya.

Ya sudah, bukan aku yang hendak menjadi objek cerita kali ini tapi pengalamanku yang cukup menegangkan atau malah bisa jadi cukup mengerikan. Malam ini untuk ke sekian kali aku harus sendirian di rumah. Para penghuninya harus pergi dan meninggalkan aku sendirian. Bukan kali pertama memang karena ada alasan yang membuat penghuni rumah ini harus pergi dan pergi dan pergi lagi ke luar kota.

Sebenarnya ketika ditinggal aku tidak benar-benar sendiri karena banyak kawan yang bisa kuminta menemani kesendirianku. Tapi terkadang aku ingin menikmati kenyamanan dan ketenangan sepi jika belum sampai pada tahap membosankan. Dari beberapa kali pengalaman “jaga rumah” itu, ada satu peristiwa yang akan selalu kuingat karena berbeda dari biasanya. Tiga atau empat tahun lalu kejadiannya. Paling tidak pengalaman pertama ketika itu menjadi pelajaran jika lain waktu kejadian ini mungkin berulang.

Aku, saat itu tidak sendirian dan bersama satu orang teman. Seperti biasa, aku jalani malam itu layaknya kebanyakan orang. Menghabiskan waktu di depan layar kaca, mengobrol bersama beberapa kudapan ringan. Untuk menemani, kumasak pula satu teko air panas guna menyeduh dua gelas kopi dan selebihnya buat persediaan nanti. Dan kurasa malam itu akan menjadi malam begadang yang santai dan mengasyikkan.

Waktu pun terus berjalan, tak terasa sudah melewati tengah malam. Aku masih sangat ingat, acara televisi yang kutonton saat itu adalah duel gulat yang sedang populer menjangkiti anak muda. Smack Down. Stasiun televisi yang menayangkannya adalah Lativi, edisi lawas yang sekarang berubah nama menjadi TV One. Karena sudah larut, kami pun memutuskan untuk akan beristirahat. Kebetulan belum shalat isya’, temanku pun lalu pergi mengambil air wudhu lebih dulu. Aku yang sudah shalat duduk santai di depan tivi. Beberapa saat setelah itu keadaan lalu berubah menegangkan. Tiba-tiba aku mendengar bunyi keras di bagian selatan rumahku, “Bruakk, Bruakk”. Ku hampiri temanku dan kubilang dengan sedikit berbisik dan cemas, “suarane opo iku?” (suara apa itu?). “yo mbuh, suarane opo” (nggak tahu suara apa). Kami pun mulai sedikit panik. Sempat terpikir untuk langsung saja keluar rumah melihat apa yang terjadi di luar. Barangkali itu “cuma” sekedar hantu, namun kuurungkan. Langkah gegabah akan membuat keadaan semakin rumit. Hanya 1% kemungkinan hal itu dilakukan oleh makhluk gaib atau hantu. Bunyi keras “bruakk” itu benar-benar nyata dan aku tak percaya hantu-hantu itu kurang kerjaan dan menghabiskan waktunya hanya untuk menjahiliku. Absurd. Aku pun berinisiatif mematikan menghidupkan lampu berulang-ulang. Bermaksud mengatakan, “pergi saja lah, rumah ini ada orangnya!”. Namun suara itu makin keras dan tak mau berhenti. Ku keraskan volume televisi agar terdengar dari luar namun tak merubah keadaan. “Bruakk, Bruakk”. Sial!

Bunyi itu berasal dari pintu pagar rumahku yang berbahan bambu. Melihat bunyi yang kudengar, kupikir takkan lama sebelum pintu itu jebol dan memberi celah untuk masuk bagian dalam rumahku. Memang masih ada pintu lagi sebelum sampai ke bagian dalam rumah, tapi jika menilik keseriusan maling itu, lebih tepat disebut rampok sebenarnya karena aksinya yang terang-terangan, sepertinya hanya menunggu waktu sebelum ia menemukan cara untuk sampai ke dalam rumah dan “bertatap muka” dengan kami. Dasar maling nekat kurang ajar.

Rumah kami memang menyendiri, sepi dan sunyi. Dikelilingi pesawahan dari depan, belakang, kiri dan kanan. Pantas jika aksi maling berisik itu tak sampai terdengar oleh siapapun termasuk tetangga terdekat kami yang berjarak sekitar 30 meter dan mungkin sedang tertidur lelap dalam mimpinya yang indah. Melihat reaksi yang kami berikan tadi tak menyurutkan langkah maling menyatroni rumah, kami pun bertambah panik dan berusaha berpikir tenang. Dari luar terdengar derap langkah kaki-kaki. Kukira jumlah mereka lebih dari satu, sekitar tiga menurut prediksiku. Temanku lalu berujar, “patenono ae lampune, ben ga’ ketok” (matikan saja lampunya biar kita nggak terlihat). Kuikuti instruksinya. Kumatikan semua lampu sedangkan temanku mencari benda keras untuk bersiap menghadapi kemungkinan terburuk. Bertempur melawan maling. Kami pun menyusun strategi. Paling tidak kami punya satu kelebihan yaitu lebih menguasai medan apalagi dalam keadaan gelap gulita seperti waktu itu. Meski begitu, jauh lebih baik jiika itu tak terjadi. Dia maling, profesional, siap bertarung tentunya, atau mungkin dengan jurus kebalnya, persediaan senjata yang sekali tebas hilang tanganku, atau keahlian bela diri. Dan kami, dua anak muda yang bersenjata “pentungan” seadanya sambil berharap satu ayunan lemah tangan kami mengenai tengkuk si maling dan berhasil merobohkannya dalam satu gerakan. Karena jika harus berhadapan langsung, 70% kemungkinan hasilnya akan terlihat buruk yaitu kami akan tersungkur K.O.. Benar-benar situasi genting, gawat, DARURAT.

Detik-detik berikutnya semakin mendebarkan. Aku bersiaga di bagian selatan sambil melihat ke atas mewaspadai jangan-jangan maling itu masuk dari atap rumah. Temanku di sebelah barat berdiri di balik pintu dan berlagak seperti polisi penyergap. Konsentrasi penuh dan bersiap mengumpulkan seluruh tenaga dalam satu ayunan pertama yang cepat dan tepat. Dua tangan kami menggenggam erat-erat pentungan, napas yang memburu, bicara pun tergagap-gagap. Secara psikologis kami memang sangat takut, gugup dan panik, but the show must go on. Tanganku pun sudah kuayun-ayunkan seakan latihan dan pemanasan. Suasana hening sesaat dan mencekam. Telinga kami pasang sebagai radar untuk menangkap setiap gerakan dan gesekan dari luar. Tiap detik terasa begitu lambat benar di malam itu.

10 menit setelah lampu dimatikan, gedoran itu terhenti. Sepertinya maling itu mengganti strategi. Mereka memutar ke belakang atau selatan rumahku mencari celah. Kami tahu itu dari bunyi langkah kaki mereka. Kami juga mencari cara dalam kebingungan total untuk meminta bantuan. Untunglah handphone sudah diciptakan oleh penemunya. Segera kuraih handphone itu dan melihat nama-nama sosok yang bisa “diganggu” dan dimintai tolong. Bukan sosok pengecut yang jika mendengar nama maling nyalinya malah surut. Setelah kupastikan bahwa keributan itu berasal dari orang yang berniat buruk, barulah aku berani mengganggu tidur nyenyak orang lain. Konyol saja jika setelah ramai orang mendatangi rumahku dan ternyata hanya suara hewan malam atau makhluk tak jelas dan label pengecut pun akan melekat selamanya pada diriku sebab kejadian itu. Kulihat daftar nama di kontak handphone flexyku. Kuharap masih ada pulsanya dan bisa buat telepon. Kuurut beberapa nama dan sampailah pada satu nama yang sangat kuingat pasca peristiwa ini, “gus basith”. Kuingat kata abahku bahwa orang ini suka bangun malam. Sepengetahuanku ia juga sosok berani dan bisa diandalkan dalam situasi ini. Langsung saja kutekan tombol bertanda “call”. Tuut.. Tuut.. Tuut.. Kuharap suara di ujung sana mendapat sambutan. Jantungku masih terus berdebar. Sejurus kemudian harapanku pun terkabul, “halo, assalamualaikum..”, ujar suara tegas di seberang telepon. Terima kasih tuhan, kau masih merahmatiku. Dengan gaya bicara yang benar-benar gugup dan terbata-bata kusampaikan saja bahwa rumahku sedang disatroni maling. Kuharap ia akan percaya dan segera mengambil tindakan karena terselip kekhawatiran di benakku bahwa pernyataanku akan dianggap ocehan anak kecil. Masih terekam jelas di otakku bahwa saat itu ia hanya menjawab racauku dengan singkat, “nggih.., nggih..” pada tiap akhir kalimatku. Selesai menelepon bantuan, aku lalu menghubungi abah, kukabarkan pada beliau, bahwa sekarang rumah kita sedang diincar maling. Abah lalu bilang dengan tenang, -aku heran plus pegel, keadaan segenting ini kok ditanggapi setenang itu- “sing akeh moco sholawat..” (perbanyak baca sholawat..). Dalam hati ku menggugat, “hah.. sholawat?! Ini maling di depan mata kok malah disuruh baca sholawat”. Tak puas dengan jawaban yang ada aku melanjutkan dengan bertanya, “ teng nginggil lemari wonten keris, kulo pendet nggih..” (di atas lemari ada keris, saya pakai ya..). Aku bermaksud memanfaatkan keris yang tersimpan lama tak tersentuh sebagai senjata. Seperti dalam buku sejarah, sepertinya keris cukup ampuh dan mematikan sebagai senjata terlepas dari bentuknya yang unik dan terlihat tak mematikan. Tapi dalam gambaran cerita kerajaan jawa jaman dulu, sepertinya keris lah senjata utama raja, patih, dan senopati jaman kuno jadi kupikir akan baik jika memanfaatkannya dalam kesempatan ini. Njajal, mumpung ada kesempatan. Keris itu ceritanya adalah kiriman untuk abah yang didatangkan dahulu waktu ada peristiwa Ninja yang sempat menghebohkan bagian timur pulau jawa di tahun 1998. Entah siapa pengirimnya. Saat itu keadaan juga tak kalah mencekam hanya saja rumahku tetap terasa aman karena sekeliling rumah dijaga puluhan orang. Tapi apa jawab abahku waktu kuminta ijinnya memakai keris sebagai senjata? “ora usah, engko malah negene’i awake dewe..” (Tidak usah, nanti malah mengenai kamu sendiri). Ah.. Pupus sudah harapanku bersenjata keris “sakti” itu. Nekat mencobanya pun aku tak berani. Terlalu beresiko jika mendengar peringatan abah. Keadaan masih mencekam dan kami pun lalu menunggu bantuan dengan harap-harap cemas sambil komat-kamit baca sholawat puluhan kali.

Dalam pada itu, si maling berubah lebih tenang dan main halus. Mereka merubah strategi lagi menuju belakang rumah yang relatif lebih rapuh. Bagian belakang rumahku yang berfungsi sebagai dapur berlainan ruangan dengan bagian inti rumah dan disekat satu pintu. Jadi ada dua pintu yang harus ia lewati sebelum bisa menjangkau kami, pintu terluar dan pintu dalam. Sayangnya pintu dapur itu engselnya tidak kokoh. Dalam hati, jika ia berhasil masuk dapur akan kubiarkan saja dia di sana. Ambil saja kompor, rice cooker, blender, pompa air atau apa saja yang di situ dari pada harus mempertaruhkan nyawa melawan mereka demi barang-barang itu. Bukankah kenekatannya sudah terbukti sejak awal mereka beraksi? Bagaimana jika mereka langsung menebas kami ketika berhadapan tanpa belas kasihan? Hoho. Aku masih muda dan tak mau mati mengenaskan lalu masuk koran karena bernasib naas. Dari dalam rumah aku mendengar gerakannya mencongkel sedikit demi sedikit pintu belakang dan kami hanya bisa terpaku menunggu. Tak ada yang bisa kami perbuat lagi selain itu. Paling tidak masih ada satu pintu lagi sebelum mereka mencapai tempat kami di dalam. Dan kuharap bantuan telah datang sebelum itu benar-benar terjadi. Malam yang menegangkan sangat.

10 menit berikutnya, terdengar deru sepeda motor melintas di kejauhan. Aku berlari ke bagian depan rumahku dan mengintip dari balik tirai. Kuharap ia akan berbelok masuk ke gang tempat kami berdiam dan itulah bantuan yang sedari tadi kami nanti. Sepeda motor itu semakin dekat dan akhirnya benar masuk ke pelataran rumah kami. Pengendaranya dua orang, satu orang begitu sampai langsung turun, menghunus pedangnya yang terlihat berkilat sambil membawa senter. Ia lalu menghilang ke sisi kanan rumahku lalu muncul lagi dari sisi kiri masih dengan pedang terhunus. Temannya masih bersiaga di depan. Mereka pemberani, terlihat dari sorot mata dan bahasa tubuhnya. Sepertinya mereka terlatih menghadapi situasi seperti ini. Aku masih di balik tirai dan baru keluar begitu tatap mata kedua orang itu terihat tenang, berbicara santai sejenak dan itu berarti “sudah aman”. Huh.. Berakhir sudah drama menegangkan selama sekitar 30 menitan itu.

Aku dan temanku lalu keluar menyambut pahlawan kami. Tak lama kemudian tetangga berdatangan menuju rumah kami. Sepertinya ada yang sudah menghubungi mereka. Beberapa ibu terlihat histeris, menghampiriku, dan berkata, “mboten nopo-nopo ta, mas..?”(nggak kenapa-kenapa kah, mas?). Ibu yang lain meminta ijin masuk ke rumah menyiapkan kopi untuk pria-pria yang ramai seketika. Aku dan temanku terduduk syok tersebab baru saja melalui peristiwa yang tanpa diduga menimpa kami ini. Pagi harinya kulihat pintu-pintu itu sudah sedikit rusak akibat usaha mereka. Salah satunya malah sudah tembus dan aku lega bisa melalui semua dengan selamat. Andai maling itu berhasil menerobos masuk. Andai kami sempat berhadapan. Andai kami mengambil keputusan yang salah. Untunglah semua itu tak terjadi sebab barokah sholawat yang kami rapal berkali-kali pada saat peristiwa itu berlangsung. Sempat ada trauma setelah kejadian itu. Tidur tak pernah nyenyak jika mendengar suara-suara malam. “Bakk”, suara mangga jatuh. “Bugh”, suara kelapa jatuh. Dan aku selalu terbangun demi menyangka itu suara maling lagi. Namun lambat laun trauma itu hilang juga. Aku dapat satu pelajaran, trauma yang sebelum itu hanya kubaca di buku-buku dan aku masih meragukan bagaimana rasanya trauma, ternyata benar-benar nyata.

1 Muharram 1433 Hijriyyah, 25 November 2011, 18.19

oleh “arek ilang urung nemu dalan”, aweh jejuluk amiruddin fahmi, semoga semua harapannya di tahun baru ini dapat terwujud. amin.
Baca Selengkapnya...

15 November 2011

Muhammad Idrus Ramli Menjawab Tudingan Syaikh Mamduh dalam Majalah Qiblati


Resensi Buku “Debat Terbuka Sunni Vs Wahhabi Di Masjidil Haram, Jawaban Terhadap Majalah Qiblati” karya Ust. Muhammad Idrus Ramli, 102 hal. Penerbit Bina Aswaja, edisi pertama September 2011. Harga : Rp. 12.000,00


Muhammad Idrus Ramli Menjawab Tudingan Syaikh Mamduh dalam Majalah Qiblati


Kesuksesan buku karya Muhammad Idrus Ramli “Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi” patut diacungi dua jempol. Terbukti dalam waktu 5 bulan saja, buku ini sudah enam kali naik cetak dengan oplah 15.000 eksemplar dan sudah tersebar di berbagai pelosok negeri. Tak hanya itu, buku ini juga mendapat perhatian dari pihak yang diserang yakni Wahhabi karena dengan bahasanya yang mengalir, mudah dicerna dan mengajarkan cara berdialog dan berargumen melalui media kisah, sehingga mampu dijangkau oleh orang awam sekalipun. Buku itu pun berhasil menohok hujjah-hujjah ideologis Wahhabi tepat di ulu hati.

Salah satu konten yang sangat menarik dalam buku itu adalah kisah cerdas yang memuat dialog antara Ayahanda Sayyid Muhammad Al-Maliki, Sayyid Alawi dan Syekh Abdurrahman Bin Sa’di. Kisah menarik itu dimuat pada bagian pertama Buku Pintar. Berikut ini adalah petikan dialog dalam kisah tersebut :

“Ibnus Sa’di berkata, “apakah benar anda telah berkata kepada orang-orang bahwa terdapat keberkahan dalam air ini (air hujan yang turun dari mizab ka’bah; red.)?”

Maka berkatalah Sayyid Alawi, “bahkan saya katakan terdapat dua keberkahan”

Ibnus Sa’diy menjawab, “bagaimana bisa demikian?”

Sayyid Alawi menjawab,

ونزلنا من السماء ماء مباركا

dan Kami turunkan dari langit air yang mengandung barokah (QS Qaf; 9)

إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا

Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia (QS Ali Imron; 96)

Sehingga pada air itu terkumpul dua keberkahan, satu keberkahan air langit, dan keberkahan ka’bah ini.” (Selengkapnya baca “Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi”)

Kisah yang diangkat Ust. Idrus Ramli itu menjadi sangat populer karena menyangkut dua tokoh besar yang beradu argumen cerdas hingga mendapat tanggapan langsung dari tokoh Wahhabi pusat, Saudi Arabia, lalu dimuat dalam Majalah Islam Internasional Qiblati yang merupakan media milik kaum Wahhabi. Tokoh itu adalah Syekh Mamduh Farhan Al-Buhairi. Turun tangan langsung beliau agaknya dikarenakan ketidak mampuan kader Wahhabi di indonesia untuk menanggapi sendiri atau dianggap perlu mendatangkan tokoh internasional untuk menandingi popularitas dan kapasitas penulis yang dikenal gigih menghadapi tokoh dan karya Wahhabi di berbagai kesempatan, baik dalam forum maupun lewat tulisan.

Syaikh Mamduh membagi jawabannya menyangkut kisah –ia menyebutnya syubhat- antara Sayyid Alawi dan Syekh Abdurrahman Bin Sa’di menjadi 10 bagian, memuat kritik dari beberapa sisi seperti sanad atau mata rantai riwayat kisah, rincian riwayat, perselisihan redaksional, dan pandangan sejarah. Beliau dalam artikelnya yang dimuat Majalah Qiblati dengan bahasa Indonesia mengatakan pentingnya menanggapi kisah ini karena “bahaya” dan penyebarannya yang berskala luas.

Substansi jawaban Syaikh Mamduh adalah bahwa kisah menarik itu dinyatakan fiktif. Beliau pun menampilkan berbagai dasar yang menguatkan pernyataannya dengan metode pembahasan ilmiah –menurut beliau- dan menyeluruh. Beliau juga menyatakan bahwa pengarang kisah telah terjerumus pada banyak kesalahan fatal dan meninggalkan banyak jejak bagi kejahatannya.

Jawaban Penulis terhadap Jawaban Syaikh Mamduh

Melihat pernyataan Syaikh Mamduh yang dimuat Majalah Qiblati, penulis pun tergerak untuk menjawab berbagai tuduhan “kejam” yang dialamatkan kepada penulis. Dengan tenang penulis pun menerbitkan jawabannya dalam bentuk buku yang terbit September 2011 lalu dengan menggandeng penerbit Bina Aswaja. Buku yang ditulisnya terbagi pula menjadi beberapa bagian sebagaimana bantahan Syaikh Mamduh. Bagian pertama mengulas kembali tentang kisah menarik tersebut. Kemudian pada bagian kedua penulis menjawab tuduhan dari segi sanad periwayatan. Klaim palsu Syaikh Mamduh dijawab penulis dengan menghadirkan sumber atau jalur periwayatan kisah itu. Tidak seperti klaim sepihak dan terburu-buru Syaikh Mamduh, kisah ini ternyata dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Terdapat referensi tertulis berupa buku yang ditulis langsung Syaikh Abdul Fattah Rawwah, murid langsung Sayyid Alawi Al-Maliki, berjudul Al-Masha’idur Rowiyyah Ila Al-Asanid Wal Kutub Al-Mardhiyyah. Penulis juga mematahkan argumen dangkal Syaikh Mamduh yang hanya berdasar asumsi lemah yaitu dengan meminjam nama dan kesaksian putera Syaikh Abdul Fattah Rowwah. Untuk lebih meyakinkan, penulis juga membawa bukti penguat yang lain lengkap dengan jalur periwayatan kisah yaitu dari Syaikh Al-Azhari sampai kepada pelaku dalam cerita yakni Sayyid Alawi Al-Maliki.

Dari segi matan beliau juga melakukan pembelaan atas bantahan Syaikh Mamduh. Syaikh Mamduh mengkritik metode pengambilan hukum Sayyid Alawi seperti tersebut dalam kisah yang menggunakan penggabungan ayat al-qur’an dan qiyas untuk menarik satu kesimpulan. Cara tersebut dianggap salah oleh Syaikh Mamduh. Penulis lalu meluruskan logika Syaikh Mamduh dengan mengutip tafsir al-qur’an dan hadis juga kisah para sahabat termasuk Sy. Ali Bin Abi Thalib yang ternyata menerapkan metode yang sama dengan yang digunakan Sayyid Alawi. Menjadi semakin jelaslah kesalahan-kesalahan yang dilakukan Syaikh Mamduh dalam bantahannya.

Berikutnya, berturut-turut penulis menerangkan tentang hakikat barokah dan tabarruk yang merupakan inti kisah yang memicu polemik ini. Definisi dan kebenaran adanya barokah dan tabarruk berdasar dalil yang akurat baik dari al-qur’an maupun hadis yang jumlahnya puluhan dari berbagai sahabat dan jalur riwayat. Tabarruk, seperti pemaparan penulis, juga dilakukan oleh ahli hadis dari masa Tabi’in seperti Syafi’i dan Ahmad hingga Mutaakhkhirin seperti Al-Dzahabi.


Daftar referensi yang disertakan di penghujung buku lengkap dengan penerbit dan tahun terbitan sesuai standar penulisan referensi ilmiah akan memudahkan pembaca untuk melakukan penelusuran lebih lanjut. Hal ini tentu akan sangat berguna bagi pihak yang barangkali beerkepentingan langsung dengan tema yang diangkat buku ini khususnya tentang barokah dan tabarruk untuk dilakukan pengkajian lebih dalam misalnya. Singkatnya, risalah ini harus dimiliki untuk menambah khazanah pengetahuan umat Islam terutama tentang barokah untuk menepis keraguan yang mungkin datang. Agar mampu menolong sunnah dan melawan bid’ah, sebuah bakti agung untuk agama Islam.


*Buku dapat dipesan melalui sdr. Ahmad 087754398654 (harga belum termasuk ongkos kirim. melayani partai dan eceran. insyaallah barokah). Kunjungi http://agenbuku-barokah.blogspot.com/
Baca Selengkapnya...

10 November 2011

Menanti Hasil Akhir Saga Pulau Komodo




Kisah panjang Pulau Komodo berawal pada bulan Januari 2011. Yayasan New7Wonders memilih 28 finalis konter tujuh keajaiban dunia berdasar penilaian tim ahli mereka yang diketuai Prof. Meijer eks direktur UNESCO. 28 finalis ini kemudian berlomba meraih predikat sebagai tujuh keajaiban dunia baru dan dipilih berdasarkan voting atau pengumpulan suara terbanyak. Indonesia yang pernah menempatkan candi Borobudur dalam daftar 7 keajaiban dunia kini hanya memiliki satu perwakilan dari 28 kontestan. Bukan lagi diwakili oleh candi Borobudur yang harus rela tersingkir karena kondisinya yang memprihatinkan melainkan oleh pulau komodo. Nasib Borobudur bahkan lebih tragis sebab kelalaian pengelola membuatnya terancam tercoret dari daftar warisan dunia rilisan UNESCO. Pulau komodo yang terletak di ujung barat provinsi Nusa Tenggara Timur kini menjadi satu-satunya harapan bangsa untuk berbicara di kancah pariwisata dunia.

Perjalanan Pulau komodo menuju 28 besar pun tak bisa dibilang mudah. Proses kompetisi dimulai dari tahun 2007. Sebanyak 220 negara di dunia mendaftarkan objek pariwisata mereka masing-masing. Beberapa Negara mendaftarkan lebih dari satu nama termasuk Indonesia yang mengajukan tiga nama sehingga dari seluruh kompetitor terkumpullah 440 objek wisata. Dari sini, pihak yayasan new7wonders kemudian melakukan seleksi dengan cara survei yang melibatkan tim ahli mereka. Pada tahap pertama 77 kontestan lolos menuju tahap berikutnya lalu berdasarkan kriteria yang ditetapkan tersaring 28 finalis dari berbagai negara untuk kemudian disisakan 7 finalis melalui voting masyarakat dunia. Tujuh finalis itulah yang kemudian ditahbiskan menjadi Tujuh Keajaiban Dunia yang baru.

Dunia pun antusias menyambut kontes ini. Berbagai negara melakukan bermacam cara untuk memenangkan negaranya. Israel mencoba mencari perhatian dunia dengan melakukan foto bersama yang diikuti 1000 peserta tanpa busana alias telanjang. Pemerintah israel melalui menteri pariwisata, Stas Mizezhnikov mengungkapkan alasan di balik ikut serta mereka yakni untuk meningkatkan jumlah turis, meningkatkan ekonomi lokal dan membuka ratusan lapangan kerja baru. Pemerintah lebanon melalui perdana menteri lebanon najib mikati secara langsung mengimbau rakyatnya memilih jita grotto sebagai salah satu keajaiban alam dunia.

Indonesia pun tak mau kalah. Tim pemenangan pulau komodo melakukan gebrakan cemerlang dengan meminta Jusuf Kalla menjadi duta komodo. Cara ini terbilang efektif karena ketokohan beliau mampu mendapat perhatian seluruh kalangan. Mulai dari Presiden susilo bambang yudhoyono, musisi, media televisi dan provider layanan komunikasi bahu-membahu demi kemenangan Pulau komodo. Tampak jelas Indonesia yang haus kemenangan demi kemenangan di kancah dunia.

Sayang sekali, nasionalisme masyarakat dan antusiasme warga terusik dengan kontroversi yang datang dari pemerintah. Duta besar indonesia untuk swiss meluncurkan pernyataan yang memantik reaksi publik. Meragukan kredibilitas penyelenggara yaitu yayasan new7wonders. Meski pada akhirnya kontroversi pernyataan ini perlahan-lahan mereda seiring kesediaan yayasan new7wonders menuntaskan masalah dengan mendatangi indonesia dan mengadakan konferensi publik, sungguh disayangkan pemerintah bukan mendukung penuh program yang akan mengangkat nama indonesia di mata dunia dan justru sibuk merecoki proses pemenangan. Untunglah hal tersebut tidak mengganggu jalan mulus pulau komodo. Dalam rilis terakhir tanggal 6 november pulau komodo menduduki peringkat lima dari 28 finalis.

Patut dinanti bagaimana akhir saga pulau komodo yang akan berakhir 11 november nanti. Dalam sisa waktu yang sangat singkat itu masyarakat indonesia diharapkan terus memberikan dukungan untuk pulau komodo dan tidak terpengaruh oleh isu negatif yang berhembus. Apalagi dukungan melalui sms kali ini tidak dipungut biaya atau dikenakan 1 rupiah saja. Bandingkan dengan Israel yang menarik biaya kurang lebih senilai 2500 rupiah untuk satu sms dukungan. Segalanya masih mungkin terjadi. Tentu saja harapan masyarakat indonesia melihat pulau komodo sebagai satu dari tujuh keajaiban dunia sangat besar untuk menjadi kenyataan dan kembali lagi kepada kesediaan kita memberi dukungan langsung. Semoga harapan itu terwujud dan menjadi nyata.


"seharusnya pulau komodo akan berada dalam gambar ini, semoga!"


AMIRUDDIN FAHMI
Mahasiswa STAI Darullughah Wadda’wah Bangil Pasuruan jawa timur
Jalan Raya Raci no. 51 Po. Box 8 Bangil Pasuruan
Baca Selengkapnya...

Tak Ada yang Bisa Melarangku Bermimpi..




Malam ini adalah malam yang belum pernah terlintas di pikiranku. Mungkin ini terlihat remeh. Tapi apa yang baru saja terjadi telah membuka luas-luas pikiranku akan satu hal baru. Jendela baru. Dunia baru. Perubahan besar pun terjadi dalam mindsetku. Hem hem hem…

Yah. Aku akan mulai bercerita. Terserah ada yang baca atau tidak, ada yang dengar atau enggak. Ada yang perhatikan atau tak ada. Bukan satu masalah. Baiklah. Akan kumulai. Sekarang.

Ahad malam senin, majalah pesantren tempatku menjalani hidup 5 tahun terakhir akan segera selesai. Softfile yang sudah berkali-kali diteliti, diperbaiki, diubah lalu diperiksa lagi pun sudah mencapai garis finish. Sempurna, sesuai standar rendah kami tentunya. Aku pun berniat mengantarkan file itu ke percetakan yang ada di Surabaya. Sayang, editing terkahir ternyata sedikit molor dari perkiraan. Jam 11.30 baru selesai total. Walhasil, saat itu juga aku harus berangkat dari Raci menuju Surabaya. Tepat di tengah malam bersama satu temanku. D uh.. tak terkira rasa kantuk menggelayuti mataku..

Tujuan pertama adalah rumah teman dan musuh terbaikku, Sayyid Syafiq alaydrus yang terletak di Sepanjang, Sidoarjo. Alasannya, tentu saja percetakan mana yang masih buka tengah malam begitu. Kebetulan ia sedang di rumah, sepulang dari Makassar. Biasanya, sehari-hari ia tinggal di kantor majalah bersamaku. Dia, menurutku, adalah sosok yang istimewa. Aku sangat menyukainya. Lain kali akan kuceritakan tentangnya lebih detail lagi. O ya. Dia masih perjaka lo, available. Ha ha ha. Hm.. Sampai di sana langsung saja kurebahkan badan. Tidur pulas sampai pagi. Puasss.

Pagi-pagi terbangun dengan sajian khas untuk tamu. Secangkir teh panas dan jajanan hangat lain menemaniku menyambut pagi dengan ceria. Biar tak panjang lebar juga capek nulisnya, langsung saja ke inti cerita. Jam enam petang aku harus mengantar file majalah ke percetakan. Jarak rumah temanku dan tempat tujuan lumayan jauh. Yang lebih penting, perjalanan ini akan membelah jantung kota metropolitan terbesar kedua di Indonesia, kota Pahlawan, kota Surabaya. Istimewa.

Biasanya, aku selalu berada di belakang jika harus berkendaraan motor. Jam terbangku berkendara memang minim. Tapi kali ini berbeda. Tanpa dinyana, temanku mempersilahkan aku duduk di depan menjadi joki. Wow! Langsung kusambar kesempatan perak ini dan kusanggupi permintaannya. Seumur-umur, aku yang cah ndeso udik ini belum pernah berkendara sendiri di tengah kota. Kakiku memang pernah menjejakkan langkah sampai ibu kota Jakarta, karena jiwa petualangku yang pernah sekali waktu mendapat ruang. Tapi itu dengan kendaraan umum. Sekarang aku harus menaklukkan jalan raya, dengan kepadatan tinggi, pada jam pulang kerja yang pasti dijejali kendaraan roda dua, empat, bahkan enam. Kesempatan emas!

Pengalaman pertama memang berbeda. Sensasinya takkan pernah terjadi untuk kali kedua. Debut memang selalu mengesankan! Di tengah jalan aku harus memusatkan konsentrasi, memelototi jalan, berzig-zag ria. Seru habis. Jika anda belum pernah merasakan sensasi memiliki jarak satu senti saja lagi dari kematian, kau harus mencobanya. Temukan itu hanya di jalan raya, bro! saat paling menegangkan adalah ketika jarak antara satu sama lain hanya puluhan senti. Lalu lintas padat merayap, dan anda harus mengejar waktu. Menyeberang jalan ramai, menyalip satu sama lain dan menyusup dalam keramaian. Semua aktivitas jalan raya membutuhkan ketelitian, ketepatan perkiraan dan kontrol kecepatan. Salah sedikit, lengah atau teledor, hohoho, nyawa anda taruhannya, bung.

Melewati gedung besar dengan berkendara sendiri rasanya sungguh berbeda. Aku merasa benar-benar “melewati”nya. Menaklukkan medan dan menguasai jalan. Dalam keadaan itu, otakku pun mulai berpikir, mulai menerawang, mulai berfantasi. Andai saja yang aku lalui ini adalah jalan-jalan di perancis. Menaklukkan kota paris. Menikmata panorama eksotis menara Eiffel yang tersohor. Huh.. aku pun mulai bermimpi, mimpi indah, yang sungguh menyenangkan. Senyum pun tak pernah berhenti dari wajahku. Ha ha.. Indahnya duniaku..

Saat itu, aku berpikir, andai aku lepas dari sangkar, tak ada beban yang disanggah pundakku, kebebasan aku dapatkan, aku berjanji, aku berjanji pada diriku sendiri, akan kutemukan jalan menuju paris. Akan kulalui jalanan di sana. Dan aku takkan berhenti sebelum sampai di sana. Aku berjanji akan kulakukan apa saja, tentu saja dengan cara yang benar, untuk bisa menapakkan kaki ringkihku nun jauh disana. Aku yakin, aku tahu aku bisa.

Usiaku sudah lebih 22. Tak ingin rasanya melepaskan masa lajang sebelum asaku terpuaskan. 5 tahun lagi atau 10 tahun lagi aku harus menikah, aku tak pernah tahu. Selama ini memang kubiarkan masa depanku dalam teka-teki. Dalam spekulasi. Dalam mimpi-mimpi. Kau takkan tahu beban yang menghimpitku. Sulit dijelaskan dan mungkin hanya bisa dirasakan sendiri. Sungguh rumit, kawan. Aku tahu semua belum berakhir. Akan kucapai, akan kugapai, akan kuraih semuanya tanpa ada yang harus dikorbankan. Itu harapanku. Dan kurasa itulah yang membuatku selama ini harus tertahan. Terkurung dan terpenjara dalam sangkar. Untuk memenuhi harapan orang-orang yang sama sekali tak ingin aku kecewakan. Dilema besar. Masalah besar. Tantangan besar. Tapi ketahuilah, aku suka tantangan.

Ada beberapa skenario yang sudah aku siapkan untuk hidupku. Aku bersyukur bisa memiliki banyak pilihan untuk hidup. Hanya saja, seiring waktu yang terus berjalan, pilihan itu pun semakin sempit. Tak apa, aku punya prinsip tak akan menyesali apa yang sudah aku putuskan dan aku pilih. Menurutku itu adalah jalan seorang lelaki. Jika aku gagal memenuhi harapan pribadiku, aku masih bisa meraihnya dengan cara lain. Memang, dalam hidup harus ada skala prioritas dan itu berarti aka nada mimpi yang harus dikorbankan jika tak bisa digapai semua. Tapi aku punya harapan baru yang takkan bisa padam. Akan kuwariskan mimpiku kepada siapapun yang bisa mewarisinya. Akan kulanjutkan misi hidupku kepada orang-orang setelahku. Sampai nanti aku harus menutup usia ini, menghentikan napas yang telah Dia beri untukku. Tak ada yang bisa menghentikan aku untuk terus bermimpi.

Ditulis dalam keadaan sangat lelah, pundak pegal dan mata berat. Tapi hati sedang senang. Oleh amiruddin fahmi.
1 November 2011
Baca Selengkapnya...

07 November 2011

Reaktualisasi Pembaruan Islam (Tajdidud Din), Menjalani Tugas Mulia nan Berat




Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab Hanbali yang dikenal sebagai imam besar dalam ilmu hadis dan sosok yang zuhud lagi waro’ adalah salah satu murid terbaik Imam Syafi’i. Beliau yang saking hebatnya kemudian menyamai gurunya dengan memiliki madzhab independennya sendiri pernah mengatakan, sebagaimana dituturkan dalam kitab Tahdzibul Kamal karya Al-Mizzi, bahwa Imam Syafi’i bagi manusia adalah bagaikan matahari bagi bumi. Tak akan pernah terganti. Imam Ahmad juga mengatakan bahwa tidurnya Imam Syafi’i di malam hari saja adalah lebih baik dibanding terjaganya seseorang menghidupkan malam dengan shalat malam. Imam Ahmad pun mengaku bahwa ia tak pernah melewatkan nama Imam Syafi’i dalam doanya setiap hari. Kali ini, penulis tidak sedang membahas tentang figur dan keutamaan Imam Syafi’i dalam sejarah Islam tetapi ingin menekankan seraya mengingatkan kenapa Imam Syafi’i mendapat pujian setinggi langit dari pendiri Madzhab Hanbali itu.

Dalam riwayat disebutkan, suatu hari dalam kunjungannya ke pusat kebudayaan dan peradaban Islam di masa itu, yakni kota Baghdad, Imam Syafi’i menyempatkan diri bertamu dan menginap di rumah sang murid yakni Imam Ahmad. Demi peristiwa besar dan langka ini, putra Imam Ahmad pun merasa penasaran dan ingin membuktikan kebesaran pendiri madzhab as-syafi’i ini. Ia ingin melihat langsung bagaimana keseharian sosok yang selalu mendapat pujian, sanjungan dan tak pernah luput dari doa ayahnya setiap malam. Malam pun tiba, sang putra pun menanti ibadah apa yang akan dilakukan oleh Imam Syafi’i di malam hari. Malam yang merupakan waktu terbaik untuk bercengkerama dan saat paling berkualitas untuk menunaikan shalat dan mengabdi kepada allah swt. Dan betapa heran dan kagetnya sang putra ketika mengetahui bahwa ketika ia dan ayahnya sedang sibuk dan asik beribadah, bermunajat kepada allah, ternyata sang tamu tidak terlihat keluar dari kamarnya dan menghabiskan malam dengan berbaring di atas ranjang! Bagaimana mungkin orang seperti ini berhak mendapat pujian setinggi langit, apalagi mendapat doa khusus setiap usai sholat dari ayahnya seperti yang dia ketahui selama ini. Dalam benaknya terlintas, keutamaan apa yang membuat ayahnya menyanjung Imam Syafi’i yang ternyata orang biasa saja. Ya, ternyata hanya orang biasa saja yang melewatkan malam dengan merebahkan badan dan memejamkan mata. Keesokan harinya Imam Syafii menceritakan perihal dirinya. Malam itu dalam keadaan terbaring ia telah memecahkan 72 masalah agama, dengan Al-Quran dan Hadis seakan terhampar di depan matanya, saking kuatnya hapalan beliau. Karena itulah beliau lalu shalat subuh dengan wudhu Isya’ meski tampaknya beliau menghabiskan waktu dengan tidur semalaman. Terjawab sudah pertanyaan yang tersimpan dalam benak putra Imam Ahmad (Sa’ah Wa Sa’ah, Nawadir Wa Ajaib).

Menghidupkan dan meperbaharui Islam atau dalam bahasa hadis, yujaddidud din. Itulah jasa dan kontribusi Imam Syafi’i untuk Islam. Merumuskan formula ratifikasi hukum Islam alias peletak awal Ushul Fiqh. Menguasai ilmu hadis dan sastra arab dengan sempurna. Beliau pernah berkata “tidaklah aku mendengar huruf apapun kecuali aku sudah mengetahui artinya” berkat pengembaraannya selama 20 tahun di pedalaman arab, sang pemilik bahasa yang masih natural. Kombinasi kecerdasan, ketekunan, kemauan keras dan pengorbanan yang tak didapat dengan mudah. Satu hal yang jarang ditemui saat ini khususnya di Indonesia, menghabiskan usia, mencurahkan perhatian, mempersembahkan hidup untuk Islam. Dan ilmu itulah identitas Islam yang sebenarnya.

“Sesungguhnya allah akan mengutus setiap penghujung seratus tahun, orang yang akan memperbaharui Islam”(HR Abu Dawud). Ulama menjelaskan maksud dari Mujaddid (pembaharu) adalah mereka yang menghidupkan kembali syiar islam, menghidupkan sunnah, dan melawan bid’ah. Berangkat dari hadis Rosul inilah muncul analisa ulama mengenai para pembaharu yang muncul tiap 100 tahun dalam sejarah islam. Alhamdulillah, sabda nabi tidak pernah meleset. Nama-nama itu adalah benar-benar memiliki jasa, membawa perubahan dan penyegaran dalam islam. Seperti dikutip dari kitab faidhul qodir, pada abad pertama ulama sepakat menunjuk khalifah ke lima , Umar bin Abdul Aziz sebagai mujaddid yang pertama berkat sumbangsih beliau untuk Islam dan kepemimpinannya hingga digolongkan sebagai Khulafaur Rasyidin (Pemimpin yang Bijaksana) meski bukan termasuk Sahabat Nabi dan berselisih masa dengan empat khalifah pertama. Pada abad kedua, terdapat nama Asy-Syafi’i. Ketiga, Al-Asy’ari, pendiri madzhab Tauhid Al-Asy’ari, atau Ibnu Syuraih. Keempat, Al-Isfiroyini, As-Shu’luki atau Al-Baqillani. Kelima, Al-Ghozzali. Keenam, Ar-Rozi atau Ar-Rofi’i. Ketujuh, Ibnu Daqiqul ‘Id, atau As-Subuki. Ke delapan, Al-Isnawi atau Al-Bulqini. Dan ke sembilan adalah Jalaluddin As-Suyuthi. Meskipun di masa ini tentu saja sangat sulit atau mungkin mustahil mendapati tokoh yang sebanding dengan nama-nama tersebut, namun itu bukan alasan untuk berusaha mengikuti pencapaian mereka khususnya dalam perhatian dan jasa untuk Islam.




Melanjutkan Perjuangan Ulama, Hidup Untuk Islam

Tolabul ilm, atau mencari ilmu adalah istilah populer untuk para penuntut ilmu agama. Menurut data yang dirilis oleh republika.com dikutip dari pernyataan Kepala Pusat Pusat Pengembangan Penelitian dan Pendidikan Pelatihan Kementerian Agama, H. Abdul Jamil, tak kurang dari 3,65 juta warga Indonesia menahbiskan diri menjadi santri yang identik dengan tolabul ilm. Meski begitu, sedikit sekali yang benar-benar belajar untuk menguasai seluruh disiplin ilmu khususnya yang mendapat label “ilmu fardhu kifayah”. Para santri saat ini hanya membatasi diri pada penguasaan ilmu dasar dan merasa cukup hanya dengan “pucuk es krim”. Padahal ilmu yang harus dikuasai yang bersifat substansial seperti tak tersentuh dengan kebutuhan umat saat ini sudah sampai pada taraf darurat. Sosok dengan keluasan ilmu dan tahqiq (mumpuni) menjadi hal yang mutlak dibutuhkan saat ini jika tak ingin Islam dengan mudah terpecah oleh isu dan aliran sempalan. Dapat dilihat melalui fenomena jejaring sosial atau terlihat dari kabar media bahwa saat ini umat Islam sangat mudah diacak-acak. Yang benar dikatakan salah dan kesalahan dianggap sebagai kebenaran. Jelas ini merupakan akibat kedangkalan pengetahuan umat dan langkanya tokoh yang mampu dijadikan rujukan seluruh pihak, mampu menjawab semua tantangan kekinian, memahami psikologi problematika umat dengan integritas dan kesalehan pribadi serta diakui oleh semua kalangan karena kealimannya. Umat Islam membutuhkan ulama Indonesia kaliber dunia seperti Syekh Nawawi Banten dengan puluhan karya besarnya, Syekh Ihsan Jampes, pengarang Sirojut Tholibin Syarh Minhajut Tholibin lil Ghozali atau Syekh Yasin Al-Fadani yang berjuluk Musnidud Dunya.

Dewasa ini aliran di luar mainstream ahlussunnah waljamaah gencar sekali melakukan penetrasi untuk menyebarkan paham mereka. Dengan agitasi dan propaganda yang manis memanfaatkan antusiasme beragama masyarakat, mereka berhasil memperoleh pengikut yang tidak sedikit dan semakin menggerogoti akidah umat. Diperparah lagi oleh kelemahan aktivitas dakwah aktivis ahlussunnah dalam menjangkau kantong-kantong yang menjadi lahan aliran sempalan, yang banyak menyasar kalangan akademis dan golongan menengah ke atas yang mengedapankan logika dalam menalar syariat.

Dengan latar belakang pengetahuan agama yang minim mereka mudah terbujuk analogi sederhana seperti “kembali kepada al-kitab dan sunnah”, “berjuang demi tegaknya khilafah”, dan “pemurnian aqidah” meski isinya seringkali tak sesuai kulit dan kemasannya. Akibat kampanye sesat mereka, banyak masyarakat yang termakan kebohongan aliran bid’ah dan dengan naifnya menafikan ilmu fiqih karena dianggap bukan bagian syari’at, menyalahkan Imam Malik karena menyalahi “ijtihad” yang benar versi mereka dan meragukan kevalidan praktek shalat yang dilakukan umat Islam saat ini. Inilah fakta yang sebenarnya terjadi saat ini pada pemuda Islam! Ibarat baju, Islam sekarang sudah compang-camping berlubang dan robek di sana-sini hingga hampir-hampir tak dapat disebut baju lagi. Berbagai fenomena masyarakat inilah yang mengingatkan kita kembali akan pentingnya menguasai lebih dalam syariat Islam dengan tujuan menolong sunnah dan melawan bid’ah. Mengenal lebih jauh ilmu warisan Rasulullah dan mengemban tugas seperti yang dahulu pernah diperjuangkan Imam Ahmad dan Imam Ghozali, juga yang dilakukan oleh Sayyid Muhammad Al-Maliki. Semoga kita bisa mengikuti jejak mereka. “Barangsiapa yang menghapal satu hadis untuk menolak bid’ah maka surgalah balasannya” (al-hadis, hasyiyah ibnu jamroh lil bukhori)

Tidak cukup hanya sampai di situ. Umat Islam juga harus menyadari pentingnya menempuh ilmu di jalur akademik sebagai sarana agar bisa mengawal mereka, untuk menguasai apa yang mereka kuasai, dan tidak memaknainya sebagai prioritas utama karena dikhawatirkan bisa melalaikan dari tujuan utama yaitu membela Islam. Satu hal lagi yang tak kalah penting dan tak boleh dilupakan adalah akhlak, adab, moral dan tata krama khususnya terhadap ulama dan syaikh/guru mereka. Atsar yang masyhur antara sahabat Zaid bin Tsabit dan Abdullah ibn Abbas, sepupu Rasulullah adalah contoh dan panutan ideal bagaimana seharusnya berinteraksi. Diriwayatkan bahwa seusai menghadiri jenazah, Zaid bin Tsabit menuju kendaraan (kuda)nya untuk pulang. Tiba-tiba datanglah Ibnu Abbas menuntun tali kekang kuda tersebut lalu Zaid berkata, “biarkan saja kuda itu wahai putra paman Rasulullah”. Maka Ibn Abbas menjawab, “seperti inilah Rasulullah menyuruh kami memperlakukan ulama”. Zaid pun lalu mencium tangan Ibn Abbas sambil berkata, “seperti inilah Rasulullah menyuruh kami memperlakukan Ahlul Bait” (HR Al-Hakim). Kisah yang hampir sama juga terjadi pada Imam Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal sebagaimana tertulis dalam Tahdzibul Kamal. Radhiyallahu anhum ajma’in.

Amiruddin Fahmi

ket. gambar:
- atas, Pondok pesantren Wali Songo Ngabar Ponorogo Indonesia
- bawah, UIN Jakarta, seharusnya menjadi wadah yang melahirkan para pembaharu Islam
Baca Selengkapnya...