Cari Blog Ini

05 Juni 2011

Reformasi PSSI, Untuk Sepakbola, Untuk Indonesia


Kiprah di indonesia di ajang sepakbola dua tahunan piala AFF 2010 yang mempertemukan wakil dari negara-negara yang tergabung dalam ASEAN menjadi sorotan seluruh elemen masyarakat Indonesia. Menjadi topik pembicaraan baik oleh para elit bangsa yang duduk di parlemen hingga masyarakat yang biasa duduk di warung kopi pinggir jalan. Ekspektasi masyarakat terlihat sangat tinggi untuk kemenangan timnas Indonesia meraih gelar yang berarti meraih supremasi tertinggi dalam olahraga yang paling digemari rakyat Indonesia. Konsentrasi publik terpusat pada segala gerak gerik yang dilakukan timnas. Dukungan pun mengalir dari berbagai pihak. Siapa yang tidak kenal Christian Gonzalez, seorang muallaf berasal dari Uruguay yang masuk islam pada tahun 2003 lalu dan kini sudah resmi menjadi WNI setelah menikahi istrinya dan menetap di Kediri, Jawa Timur. Pria 34 tahun ini dikenal sebagai sosok yang religius dan menaruh perhatian kepada agama barunya tersebut. Siapa pula yang tak kenal Irfan Bachdim, pemain naturalisasi asal belanda yang mendapat kewarganegaraan Belanda dan Indonesia karena memiliki darah Jawa dan menjadi idola para penggila bola dan kaum hawa. Popularitas mereka mampu melewati batas strata dalam lapisan masyarakat bahkan mampu menjangkau kaum hawa meski sepakbola adalah olah raga yang didominasi para pria.

Menarik untuk diperhatikan karena sepakbola terbukti efektif menyita perhatian seluruh elemen masyarakat Indonesia melebihi cabang olahraga lainnya. Apalagi jika membawa nama besar bangsa. Ada kebanggaan. Ada harapan. Ada fanatisme yang membuncah di benak seluruh warga Indonesia ketika menyaksikan punggawa timnas berlaga di kancah internasional mewakili 200 juta penghuninya. Semua ini menjadi saksi betapa besar keinginan, kebanggaan, dan harapan masyarakat Indonesia terhadap olahraga yang berasal dari Inggris ini mengalahkan cabang olahraga lainnya.

Di sisi lain, pemerintah sebagai pihak yang semestinya bekerja dan mengabdi untuk memenuhi harapan rakyatnya, terkesan kurang optimal dalam menangani kemajuan sepakbola dan gagal mempersembahkan prestasi yang bisa membuat masyarakat Indonesia bangga menjadi warga Indonesia. Pemerintah belum memaksimalkan potensi yang dimiliki negara dengan ratusan juta penghuninya. Indonesia, sebuah negara dengan nama besar , masih kalah oleh Thailand , Singapura dan Malaysia di level ASEAN, asosiasi negara-negara Asia Tenggara dan sekitarnya yang sebenarnya digagas oleh Indonesia. Aneh karena Indonesia merupakan negara besar dengan jutaan talenta-talenta yang belum tereksplorasi seluruhnya. Sebenarnya dimana kesalahan kita?
Kegagalan ini tidak bisa dilihat secara parsial dari seretnya prestasi timnas dan permasalahannya saja tapi juga harus dievaluasi dengan komprehensif. Meski PSSI, sebagai lembaga negara yang memiliki otoritas di bidang sepakbola sudah berulang kali berusaha mendatangkan pelatih yang berkualitas dari luar negeri, atau menerapkan naturalisasi pemain asing, tapi hal itu belum cukup menyelesaikan masalah ini. Ada hal lain yang semestinya lebih diperhatikan agar Indonesia memiliki pemain dengan skill dan mental yang berkualitas, yaitu kompetisi lokal yang menjadi ajang bagi tim-tim dari penjuru Indonesia berkompetisi. Di sinilah sebenarnya kualitas dan mental pemain kita diasah dan ditempa.

Paling tidak, ada satu hal penting yang perlu dilakukan oleh PSSI. Kompetisi yang digulirkan harus menjunjung tinggi fair play dan menggunakan sistem yang menguntungkan PSSI dan tim-tim peserta kompetisi. Pemberontakan klub peserta liga disebabkan ketidak puasan atas kinerja PSSI dalam mengatur keuangan dan sistem yang tidak objektif, berpihak pada mereka yang dekat dengan kekuasaan. Liga Premier Indonesia, liga baru yang digulirkan oleh klub-klub yang tidak puas akan system kerja dan kinerja PSSI merupakan bukti nyata kegagalan PSSI memoderasi sepakbola Indonesia. Bagaimana mungkin Indonesia mampu menghasikan pemain berkualitas dan bermental juara jika dihasilkan dari kompetisi yang tidak kondusif.

Perlu diperhatikan, prestasi tidak bisa didapat dengan instan, terbukti dengan kegagalan timnas menjuarai piala AFF meski sudah empat kali mencapai babak final. Ada sesuatu yang salah, ada hal yang harus dibenahi, yaitu mental juara yang belum kita punya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar