Cari Blog Ini

27 November 2011

Home Alone, Pengalaman Tak Menyenangkan Melawan Maling Nekat



Malam ini adalah hari pertama pergantian tahun dalam Islam. Sudah 1433 tahun sejak momen bersejarah hijrah rasulullah saw. dari kota makkah ke kota madinah yang ditetapkan menjadi hitungan awal kalenderisasi islam. Alhamdulillah, islam masih terjaga eksistensinya di dunia yang terus berubah. Pertambahan tahun ini juga menandai bertambahnya usiaku yang kini menuju tahun ke 23 sejak aku dilahirkan. Angka yang sudah cukup banyak ini mengantarku beranjak dari fase remaja menuju fase pencarian diri. Meski sejatinya aku belum berhasil menemukannya.

Ya sudah, bukan aku yang hendak menjadi objek cerita kali ini tapi pengalamanku yang cukup menegangkan atau malah bisa jadi cukup mengerikan. Malam ini untuk ke sekian kali aku harus sendirian di rumah. Para penghuninya harus pergi dan meninggalkan aku sendirian. Bukan kali pertama memang karena ada alasan yang membuat penghuni rumah ini harus pergi dan pergi dan pergi lagi ke luar kota.

Sebenarnya ketika ditinggal aku tidak benar-benar sendiri karena banyak kawan yang bisa kuminta menemani kesendirianku. Tapi terkadang aku ingin menikmati kenyamanan dan ketenangan sepi jika belum sampai pada tahap membosankan. Dari beberapa kali pengalaman “jaga rumah” itu, ada satu peristiwa yang akan selalu kuingat karena berbeda dari biasanya. Tiga atau empat tahun lalu kejadiannya. Paling tidak pengalaman pertama ketika itu menjadi pelajaran jika lain waktu kejadian ini mungkin berulang.

Aku, saat itu tidak sendirian dan bersama satu orang teman. Seperti biasa, aku jalani malam itu layaknya kebanyakan orang. Menghabiskan waktu di depan layar kaca, mengobrol bersama beberapa kudapan ringan. Untuk menemani, kumasak pula satu teko air panas guna menyeduh dua gelas kopi dan selebihnya buat persediaan nanti. Dan kurasa malam itu akan menjadi malam begadang yang santai dan mengasyikkan.

Waktu pun terus berjalan, tak terasa sudah melewati tengah malam. Aku masih sangat ingat, acara televisi yang kutonton saat itu adalah duel gulat yang sedang populer menjangkiti anak muda. Smack Down. Stasiun televisi yang menayangkannya adalah Lativi, edisi lawas yang sekarang berubah nama menjadi TV One. Karena sudah larut, kami pun memutuskan untuk akan beristirahat. Kebetulan belum shalat isya’, temanku pun lalu pergi mengambil air wudhu lebih dulu. Aku yang sudah shalat duduk santai di depan tivi. Beberapa saat setelah itu keadaan lalu berubah menegangkan. Tiba-tiba aku mendengar bunyi keras di bagian selatan rumahku, “Bruakk, Bruakk”. Ku hampiri temanku dan kubilang dengan sedikit berbisik dan cemas, “suarane opo iku?” (suara apa itu?). “yo mbuh, suarane opo” (nggak tahu suara apa). Kami pun mulai sedikit panik. Sempat terpikir untuk langsung saja keluar rumah melihat apa yang terjadi di luar. Barangkali itu “cuma” sekedar hantu, namun kuurungkan. Langkah gegabah akan membuat keadaan semakin rumit. Hanya 1% kemungkinan hal itu dilakukan oleh makhluk gaib atau hantu. Bunyi keras “bruakk” itu benar-benar nyata dan aku tak percaya hantu-hantu itu kurang kerjaan dan menghabiskan waktunya hanya untuk menjahiliku. Absurd. Aku pun berinisiatif mematikan menghidupkan lampu berulang-ulang. Bermaksud mengatakan, “pergi saja lah, rumah ini ada orangnya!”. Namun suara itu makin keras dan tak mau berhenti. Ku keraskan volume televisi agar terdengar dari luar namun tak merubah keadaan. “Bruakk, Bruakk”. Sial!

Bunyi itu berasal dari pintu pagar rumahku yang berbahan bambu. Melihat bunyi yang kudengar, kupikir takkan lama sebelum pintu itu jebol dan memberi celah untuk masuk bagian dalam rumahku. Memang masih ada pintu lagi sebelum sampai ke bagian dalam rumah, tapi jika menilik keseriusan maling itu, lebih tepat disebut rampok sebenarnya karena aksinya yang terang-terangan, sepertinya hanya menunggu waktu sebelum ia menemukan cara untuk sampai ke dalam rumah dan “bertatap muka” dengan kami. Dasar maling nekat kurang ajar.

Rumah kami memang menyendiri, sepi dan sunyi. Dikelilingi pesawahan dari depan, belakang, kiri dan kanan. Pantas jika aksi maling berisik itu tak sampai terdengar oleh siapapun termasuk tetangga terdekat kami yang berjarak sekitar 30 meter dan mungkin sedang tertidur lelap dalam mimpinya yang indah. Melihat reaksi yang kami berikan tadi tak menyurutkan langkah maling menyatroni rumah, kami pun bertambah panik dan berusaha berpikir tenang. Dari luar terdengar derap langkah kaki-kaki. Kukira jumlah mereka lebih dari satu, sekitar tiga menurut prediksiku. Temanku lalu berujar, “patenono ae lampune, ben ga’ ketok” (matikan saja lampunya biar kita nggak terlihat). Kuikuti instruksinya. Kumatikan semua lampu sedangkan temanku mencari benda keras untuk bersiap menghadapi kemungkinan terburuk. Bertempur melawan maling. Kami pun menyusun strategi. Paling tidak kami punya satu kelebihan yaitu lebih menguasai medan apalagi dalam keadaan gelap gulita seperti waktu itu. Meski begitu, jauh lebih baik jiika itu tak terjadi. Dia maling, profesional, siap bertarung tentunya, atau mungkin dengan jurus kebalnya, persediaan senjata yang sekali tebas hilang tanganku, atau keahlian bela diri. Dan kami, dua anak muda yang bersenjata “pentungan” seadanya sambil berharap satu ayunan lemah tangan kami mengenai tengkuk si maling dan berhasil merobohkannya dalam satu gerakan. Karena jika harus berhadapan langsung, 70% kemungkinan hasilnya akan terlihat buruk yaitu kami akan tersungkur K.O.. Benar-benar situasi genting, gawat, DARURAT.

Detik-detik berikutnya semakin mendebarkan. Aku bersiaga di bagian selatan sambil melihat ke atas mewaspadai jangan-jangan maling itu masuk dari atap rumah. Temanku di sebelah barat berdiri di balik pintu dan berlagak seperti polisi penyergap. Konsentrasi penuh dan bersiap mengumpulkan seluruh tenaga dalam satu ayunan pertama yang cepat dan tepat. Dua tangan kami menggenggam erat-erat pentungan, napas yang memburu, bicara pun tergagap-gagap. Secara psikologis kami memang sangat takut, gugup dan panik, but the show must go on. Tanganku pun sudah kuayun-ayunkan seakan latihan dan pemanasan. Suasana hening sesaat dan mencekam. Telinga kami pasang sebagai radar untuk menangkap setiap gerakan dan gesekan dari luar. Tiap detik terasa begitu lambat benar di malam itu.

10 menit setelah lampu dimatikan, gedoran itu terhenti. Sepertinya maling itu mengganti strategi. Mereka memutar ke belakang atau selatan rumahku mencari celah. Kami tahu itu dari bunyi langkah kaki mereka. Kami juga mencari cara dalam kebingungan total untuk meminta bantuan. Untunglah handphone sudah diciptakan oleh penemunya. Segera kuraih handphone itu dan melihat nama-nama sosok yang bisa “diganggu” dan dimintai tolong. Bukan sosok pengecut yang jika mendengar nama maling nyalinya malah surut. Setelah kupastikan bahwa keributan itu berasal dari orang yang berniat buruk, barulah aku berani mengganggu tidur nyenyak orang lain. Konyol saja jika setelah ramai orang mendatangi rumahku dan ternyata hanya suara hewan malam atau makhluk tak jelas dan label pengecut pun akan melekat selamanya pada diriku sebab kejadian itu. Kulihat daftar nama di kontak handphone flexyku. Kuharap masih ada pulsanya dan bisa buat telepon. Kuurut beberapa nama dan sampailah pada satu nama yang sangat kuingat pasca peristiwa ini, “gus basith”. Kuingat kata abahku bahwa orang ini suka bangun malam. Sepengetahuanku ia juga sosok berani dan bisa diandalkan dalam situasi ini. Langsung saja kutekan tombol bertanda “call”. Tuut.. Tuut.. Tuut.. Kuharap suara di ujung sana mendapat sambutan. Jantungku masih terus berdebar. Sejurus kemudian harapanku pun terkabul, “halo, assalamualaikum..”, ujar suara tegas di seberang telepon. Terima kasih tuhan, kau masih merahmatiku. Dengan gaya bicara yang benar-benar gugup dan terbata-bata kusampaikan saja bahwa rumahku sedang disatroni maling. Kuharap ia akan percaya dan segera mengambil tindakan karena terselip kekhawatiran di benakku bahwa pernyataanku akan dianggap ocehan anak kecil. Masih terekam jelas di otakku bahwa saat itu ia hanya menjawab racauku dengan singkat, “nggih.., nggih..” pada tiap akhir kalimatku. Selesai menelepon bantuan, aku lalu menghubungi abah, kukabarkan pada beliau, bahwa sekarang rumah kita sedang diincar maling. Abah lalu bilang dengan tenang, -aku heran plus pegel, keadaan segenting ini kok ditanggapi setenang itu- “sing akeh moco sholawat..” (perbanyak baca sholawat..). Dalam hati ku menggugat, “hah.. sholawat?! Ini maling di depan mata kok malah disuruh baca sholawat”. Tak puas dengan jawaban yang ada aku melanjutkan dengan bertanya, “ teng nginggil lemari wonten keris, kulo pendet nggih..” (di atas lemari ada keris, saya pakai ya..). Aku bermaksud memanfaatkan keris yang tersimpan lama tak tersentuh sebagai senjata. Seperti dalam buku sejarah, sepertinya keris cukup ampuh dan mematikan sebagai senjata terlepas dari bentuknya yang unik dan terlihat tak mematikan. Tapi dalam gambaran cerita kerajaan jawa jaman dulu, sepertinya keris lah senjata utama raja, patih, dan senopati jaman kuno jadi kupikir akan baik jika memanfaatkannya dalam kesempatan ini. Njajal, mumpung ada kesempatan. Keris itu ceritanya adalah kiriman untuk abah yang didatangkan dahulu waktu ada peristiwa Ninja yang sempat menghebohkan bagian timur pulau jawa di tahun 1998. Entah siapa pengirimnya. Saat itu keadaan juga tak kalah mencekam hanya saja rumahku tetap terasa aman karena sekeliling rumah dijaga puluhan orang. Tapi apa jawab abahku waktu kuminta ijinnya memakai keris sebagai senjata? “ora usah, engko malah negene’i awake dewe..” (Tidak usah, nanti malah mengenai kamu sendiri). Ah.. Pupus sudah harapanku bersenjata keris “sakti” itu. Nekat mencobanya pun aku tak berani. Terlalu beresiko jika mendengar peringatan abah. Keadaan masih mencekam dan kami pun lalu menunggu bantuan dengan harap-harap cemas sambil komat-kamit baca sholawat puluhan kali.

Dalam pada itu, si maling berubah lebih tenang dan main halus. Mereka merubah strategi lagi menuju belakang rumah yang relatif lebih rapuh. Bagian belakang rumahku yang berfungsi sebagai dapur berlainan ruangan dengan bagian inti rumah dan disekat satu pintu. Jadi ada dua pintu yang harus ia lewati sebelum bisa menjangkau kami, pintu terluar dan pintu dalam. Sayangnya pintu dapur itu engselnya tidak kokoh. Dalam hati, jika ia berhasil masuk dapur akan kubiarkan saja dia di sana. Ambil saja kompor, rice cooker, blender, pompa air atau apa saja yang di situ dari pada harus mempertaruhkan nyawa melawan mereka demi barang-barang itu. Bukankah kenekatannya sudah terbukti sejak awal mereka beraksi? Bagaimana jika mereka langsung menebas kami ketika berhadapan tanpa belas kasihan? Hoho. Aku masih muda dan tak mau mati mengenaskan lalu masuk koran karena bernasib naas. Dari dalam rumah aku mendengar gerakannya mencongkel sedikit demi sedikit pintu belakang dan kami hanya bisa terpaku menunggu. Tak ada yang bisa kami perbuat lagi selain itu. Paling tidak masih ada satu pintu lagi sebelum mereka mencapai tempat kami di dalam. Dan kuharap bantuan telah datang sebelum itu benar-benar terjadi. Malam yang menegangkan sangat.

10 menit berikutnya, terdengar deru sepeda motor melintas di kejauhan. Aku berlari ke bagian depan rumahku dan mengintip dari balik tirai. Kuharap ia akan berbelok masuk ke gang tempat kami berdiam dan itulah bantuan yang sedari tadi kami nanti. Sepeda motor itu semakin dekat dan akhirnya benar masuk ke pelataran rumah kami. Pengendaranya dua orang, satu orang begitu sampai langsung turun, menghunus pedangnya yang terlihat berkilat sambil membawa senter. Ia lalu menghilang ke sisi kanan rumahku lalu muncul lagi dari sisi kiri masih dengan pedang terhunus. Temannya masih bersiaga di depan. Mereka pemberani, terlihat dari sorot mata dan bahasa tubuhnya. Sepertinya mereka terlatih menghadapi situasi seperti ini. Aku masih di balik tirai dan baru keluar begitu tatap mata kedua orang itu terihat tenang, berbicara santai sejenak dan itu berarti “sudah aman”. Huh.. Berakhir sudah drama menegangkan selama sekitar 30 menitan itu.

Aku dan temanku lalu keluar menyambut pahlawan kami. Tak lama kemudian tetangga berdatangan menuju rumah kami. Sepertinya ada yang sudah menghubungi mereka. Beberapa ibu terlihat histeris, menghampiriku, dan berkata, “mboten nopo-nopo ta, mas..?”(nggak kenapa-kenapa kah, mas?). Ibu yang lain meminta ijin masuk ke rumah menyiapkan kopi untuk pria-pria yang ramai seketika. Aku dan temanku terduduk syok tersebab baru saja melalui peristiwa yang tanpa diduga menimpa kami ini. Pagi harinya kulihat pintu-pintu itu sudah sedikit rusak akibat usaha mereka. Salah satunya malah sudah tembus dan aku lega bisa melalui semua dengan selamat. Andai maling itu berhasil menerobos masuk. Andai kami sempat berhadapan. Andai kami mengambil keputusan yang salah. Untunglah semua itu tak terjadi sebab barokah sholawat yang kami rapal berkali-kali pada saat peristiwa itu berlangsung. Sempat ada trauma setelah kejadian itu. Tidur tak pernah nyenyak jika mendengar suara-suara malam. “Bakk”, suara mangga jatuh. “Bugh”, suara kelapa jatuh. Dan aku selalu terbangun demi menyangka itu suara maling lagi. Namun lambat laun trauma itu hilang juga. Aku dapat satu pelajaran, trauma yang sebelum itu hanya kubaca di buku-buku dan aku masih meragukan bagaimana rasanya trauma, ternyata benar-benar nyata.

1 Muharram 1433 Hijriyyah, 25 November 2011, 18.19

oleh “arek ilang urung nemu dalan”, aweh jejuluk amiruddin fahmi, semoga semua harapannya di tahun baru ini dapat terwujud. amin.

1 komentar: