Cari Blog Ini

10 November 2011

Tak Ada yang Bisa Melarangku Bermimpi..




Malam ini adalah malam yang belum pernah terlintas di pikiranku. Mungkin ini terlihat remeh. Tapi apa yang baru saja terjadi telah membuka luas-luas pikiranku akan satu hal baru. Jendela baru. Dunia baru. Perubahan besar pun terjadi dalam mindsetku. Hem hem hem…

Yah. Aku akan mulai bercerita. Terserah ada yang baca atau tidak, ada yang dengar atau enggak. Ada yang perhatikan atau tak ada. Bukan satu masalah. Baiklah. Akan kumulai. Sekarang.

Ahad malam senin, majalah pesantren tempatku menjalani hidup 5 tahun terakhir akan segera selesai. Softfile yang sudah berkali-kali diteliti, diperbaiki, diubah lalu diperiksa lagi pun sudah mencapai garis finish. Sempurna, sesuai standar rendah kami tentunya. Aku pun berniat mengantarkan file itu ke percetakan yang ada di Surabaya. Sayang, editing terkahir ternyata sedikit molor dari perkiraan. Jam 11.30 baru selesai total. Walhasil, saat itu juga aku harus berangkat dari Raci menuju Surabaya. Tepat di tengah malam bersama satu temanku. D uh.. tak terkira rasa kantuk menggelayuti mataku..

Tujuan pertama adalah rumah teman dan musuh terbaikku, Sayyid Syafiq alaydrus yang terletak di Sepanjang, Sidoarjo. Alasannya, tentu saja percetakan mana yang masih buka tengah malam begitu. Kebetulan ia sedang di rumah, sepulang dari Makassar. Biasanya, sehari-hari ia tinggal di kantor majalah bersamaku. Dia, menurutku, adalah sosok yang istimewa. Aku sangat menyukainya. Lain kali akan kuceritakan tentangnya lebih detail lagi. O ya. Dia masih perjaka lo, available. Ha ha ha. Hm.. Sampai di sana langsung saja kurebahkan badan. Tidur pulas sampai pagi. Puasss.

Pagi-pagi terbangun dengan sajian khas untuk tamu. Secangkir teh panas dan jajanan hangat lain menemaniku menyambut pagi dengan ceria. Biar tak panjang lebar juga capek nulisnya, langsung saja ke inti cerita. Jam enam petang aku harus mengantar file majalah ke percetakan. Jarak rumah temanku dan tempat tujuan lumayan jauh. Yang lebih penting, perjalanan ini akan membelah jantung kota metropolitan terbesar kedua di Indonesia, kota Pahlawan, kota Surabaya. Istimewa.

Biasanya, aku selalu berada di belakang jika harus berkendaraan motor. Jam terbangku berkendara memang minim. Tapi kali ini berbeda. Tanpa dinyana, temanku mempersilahkan aku duduk di depan menjadi joki. Wow! Langsung kusambar kesempatan perak ini dan kusanggupi permintaannya. Seumur-umur, aku yang cah ndeso udik ini belum pernah berkendara sendiri di tengah kota. Kakiku memang pernah menjejakkan langkah sampai ibu kota Jakarta, karena jiwa petualangku yang pernah sekali waktu mendapat ruang. Tapi itu dengan kendaraan umum. Sekarang aku harus menaklukkan jalan raya, dengan kepadatan tinggi, pada jam pulang kerja yang pasti dijejali kendaraan roda dua, empat, bahkan enam. Kesempatan emas!

Pengalaman pertama memang berbeda. Sensasinya takkan pernah terjadi untuk kali kedua. Debut memang selalu mengesankan! Di tengah jalan aku harus memusatkan konsentrasi, memelototi jalan, berzig-zag ria. Seru habis. Jika anda belum pernah merasakan sensasi memiliki jarak satu senti saja lagi dari kematian, kau harus mencobanya. Temukan itu hanya di jalan raya, bro! saat paling menegangkan adalah ketika jarak antara satu sama lain hanya puluhan senti. Lalu lintas padat merayap, dan anda harus mengejar waktu. Menyeberang jalan ramai, menyalip satu sama lain dan menyusup dalam keramaian. Semua aktivitas jalan raya membutuhkan ketelitian, ketepatan perkiraan dan kontrol kecepatan. Salah sedikit, lengah atau teledor, hohoho, nyawa anda taruhannya, bung.

Melewati gedung besar dengan berkendara sendiri rasanya sungguh berbeda. Aku merasa benar-benar “melewati”nya. Menaklukkan medan dan menguasai jalan. Dalam keadaan itu, otakku pun mulai berpikir, mulai menerawang, mulai berfantasi. Andai saja yang aku lalui ini adalah jalan-jalan di perancis. Menaklukkan kota paris. Menikmata panorama eksotis menara Eiffel yang tersohor. Huh.. aku pun mulai bermimpi, mimpi indah, yang sungguh menyenangkan. Senyum pun tak pernah berhenti dari wajahku. Ha ha.. Indahnya duniaku..

Saat itu, aku berpikir, andai aku lepas dari sangkar, tak ada beban yang disanggah pundakku, kebebasan aku dapatkan, aku berjanji, aku berjanji pada diriku sendiri, akan kutemukan jalan menuju paris. Akan kulalui jalanan di sana. Dan aku takkan berhenti sebelum sampai di sana. Aku berjanji akan kulakukan apa saja, tentu saja dengan cara yang benar, untuk bisa menapakkan kaki ringkihku nun jauh disana. Aku yakin, aku tahu aku bisa.

Usiaku sudah lebih 22. Tak ingin rasanya melepaskan masa lajang sebelum asaku terpuaskan. 5 tahun lagi atau 10 tahun lagi aku harus menikah, aku tak pernah tahu. Selama ini memang kubiarkan masa depanku dalam teka-teki. Dalam spekulasi. Dalam mimpi-mimpi. Kau takkan tahu beban yang menghimpitku. Sulit dijelaskan dan mungkin hanya bisa dirasakan sendiri. Sungguh rumit, kawan. Aku tahu semua belum berakhir. Akan kucapai, akan kugapai, akan kuraih semuanya tanpa ada yang harus dikorbankan. Itu harapanku. Dan kurasa itulah yang membuatku selama ini harus tertahan. Terkurung dan terpenjara dalam sangkar. Untuk memenuhi harapan orang-orang yang sama sekali tak ingin aku kecewakan. Dilema besar. Masalah besar. Tantangan besar. Tapi ketahuilah, aku suka tantangan.

Ada beberapa skenario yang sudah aku siapkan untuk hidupku. Aku bersyukur bisa memiliki banyak pilihan untuk hidup. Hanya saja, seiring waktu yang terus berjalan, pilihan itu pun semakin sempit. Tak apa, aku punya prinsip tak akan menyesali apa yang sudah aku putuskan dan aku pilih. Menurutku itu adalah jalan seorang lelaki. Jika aku gagal memenuhi harapan pribadiku, aku masih bisa meraihnya dengan cara lain. Memang, dalam hidup harus ada skala prioritas dan itu berarti aka nada mimpi yang harus dikorbankan jika tak bisa digapai semua. Tapi aku punya harapan baru yang takkan bisa padam. Akan kuwariskan mimpiku kepada siapapun yang bisa mewarisinya. Akan kulanjutkan misi hidupku kepada orang-orang setelahku. Sampai nanti aku harus menutup usia ini, menghentikan napas yang telah Dia beri untukku. Tak ada yang bisa menghentikan aku untuk terus bermimpi.

Ditulis dalam keadaan sangat lelah, pundak pegal dan mata berat. Tapi hati sedang senang. Oleh amiruddin fahmi.
1 November 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar