Cari Blog Ini

07 November 2011

Reaktualisasi Pembaruan Islam (Tajdidud Din), Menjalani Tugas Mulia nan Berat




Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab Hanbali yang dikenal sebagai imam besar dalam ilmu hadis dan sosok yang zuhud lagi waro’ adalah salah satu murid terbaik Imam Syafi’i. Beliau yang saking hebatnya kemudian menyamai gurunya dengan memiliki madzhab independennya sendiri pernah mengatakan, sebagaimana dituturkan dalam kitab Tahdzibul Kamal karya Al-Mizzi, bahwa Imam Syafi’i bagi manusia adalah bagaikan matahari bagi bumi. Tak akan pernah terganti. Imam Ahmad juga mengatakan bahwa tidurnya Imam Syafi’i di malam hari saja adalah lebih baik dibanding terjaganya seseorang menghidupkan malam dengan shalat malam. Imam Ahmad pun mengaku bahwa ia tak pernah melewatkan nama Imam Syafi’i dalam doanya setiap hari. Kali ini, penulis tidak sedang membahas tentang figur dan keutamaan Imam Syafi’i dalam sejarah Islam tetapi ingin menekankan seraya mengingatkan kenapa Imam Syafi’i mendapat pujian setinggi langit dari pendiri Madzhab Hanbali itu.

Dalam riwayat disebutkan, suatu hari dalam kunjungannya ke pusat kebudayaan dan peradaban Islam di masa itu, yakni kota Baghdad, Imam Syafi’i menyempatkan diri bertamu dan menginap di rumah sang murid yakni Imam Ahmad. Demi peristiwa besar dan langka ini, putra Imam Ahmad pun merasa penasaran dan ingin membuktikan kebesaran pendiri madzhab as-syafi’i ini. Ia ingin melihat langsung bagaimana keseharian sosok yang selalu mendapat pujian, sanjungan dan tak pernah luput dari doa ayahnya setiap malam. Malam pun tiba, sang putra pun menanti ibadah apa yang akan dilakukan oleh Imam Syafi’i di malam hari. Malam yang merupakan waktu terbaik untuk bercengkerama dan saat paling berkualitas untuk menunaikan shalat dan mengabdi kepada allah swt. Dan betapa heran dan kagetnya sang putra ketika mengetahui bahwa ketika ia dan ayahnya sedang sibuk dan asik beribadah, bermunajat kepada allah, ternyata sang tamu tidak terlihat keluar dari kamarnya dan menghabiskan malam dengan berbaring di atas ranjang! Bagaimana mungkin orang seperti ini berhak mendapat pujian setinggi langit, apalagi mendapat doa khusus setiap usai sholat dari ayahnya seperti yang dia ketahui selama ini. Dalam benaknya terlintas, keutamaan apa yang membuat ayahnya menyanjung Imam Syafi’i yang ternyata orang biasa saja. Ya, ternyata hanya orang biasa saja yang melewatkan malam dengan merebahkan badan dan memejamkan mata. Keesokan harinya Imam Syafii menceritakan perihal dirinya. Malam itu dalam keadaan terbaring ia telah memecahkan 72 masalah agama, dengan Al-Quran dan Hadis seakan terhampar di depan matanya, saking kuatnya hapalan beliau. Karena itulah beliau lalu shalat subuh dengan wudhu Isya’ meski tampaknya beliau menghabiskan waktu dengan tidur semalaman. Terjawab sudah pertanyaan yang tersimpan dalam benak putra Imam Ahmad (Sa’ah Wa Sa’ah, Nawadir Wa Ajaib).

Menghidupkan dan meperbaharui Islam atau dalam bahasa hadis, yujaddidud din. Itulah jasa dan kontribusi Imam Syafi’i untuk Islam. Merumuskan formula ratifikasi hukum Islam alias peletak awal Ushul Fiqh. Menguasai ilmu hadis dan sastra arab dengan sempurna. Beliau pernah berkata “tidaklah aku mendengar huruf apapun kecuali aku sudah mengetahui artinya” berkat pengembaraannya selama 20 tahun di pedalaman arab, sang pemilik bahasa yang masih natural. Kombinasi kecerdasan, ketekunan, kemauan keras dan pengorbanan yang tak didapat dengan mudah. Satu hal yang jarang ditemui saat ini khususnya di Indonesia, menghabiskan usia, mencurahkan perhatian, mempersembahkan hidup untuk Islam. Dan ilmu itulah identitas Islam yang sebenarnya.

“Sesungguhnya allah akan mengutus setiap penghujung seratus tahun, orang yang akan memperbaharui Islam”(HR Abu Dawud). Ulama menjelaskan maksud dari Mujaddid (pembaharu) adalah mereka yang menghidupkan kembali syiar islam, menghidupkan sunnah, dan melawan bid’ah. Berangkat dari hadis Rosul inilah muncul analisa ulama mengenai para pembaharu yang muncul tiap 100 tahun dalam sejarah islam. Alhamdulillah, sabda nabi tidak pernah meleset. Nama-nama itu adalah benar-benar memiliki jasa, membawa perubahan dan penyegaran dalam islam. Seperti dikutip dari kitab faidhul qodir, pada abad pertama ulama sepakat menunjuk khalifah ke lima , Umar bin Abdul Aziz sebagai mujaddid yang pertama berkat sumbangsih beliau untuk Islam dan kepemimpinannya hingga digolongkan sebagai Khulafaur Rasyidin (Pemimpin yang Bijaksana) meski bukan termasuk Sahabat Nabi dan berselisih masa dengan empat khalifah pertama. Pada abad kedua, terdapat nama Asy-Syafi’i. Ketiga, Al-Asy’ari, pendiri madzhab Tauhid Al-Asy’ari, atau Ibnu Syuraih. Keempat, Al-Isfiroyini, As-Shu’luki atau Al-Baqillani. Kelima, Al-Ghozzali. Keenam, Ar-Rozi atau Ar-Rofi’i. Ketujuh, Ibnu Daqiqul ‘Id, atau As-Subuki. Ke delapan, Al-Isnawi atau Al-Bulqini. Dan ke sembilan adalah Jalaluddin As-Suyuthi. Meskipun di masa ini tentu saja sangat sulit atau mungkin mustahil mendapati tokoh yang sebanding dengan nama-nama tersebut, namun itu bukan alasan untuk berusaha mengikuti pencapaian mereka khususnya dalam perhatian dan jasa untuk Islam.




Melanjutkan Perjuangan Ulama, Hidup Untuk Islam

Tolabul ilm, atau mencari ilmu adalah istilah populer untuk para penuntut ilmu agama. Menurut data yang dirilis oleh republika.com dikutip dari pernyataan Kepala Pusat Pusat Pengembangan Penelitian dan Pendidikan Pelatihan Kementerian Agama, H. Abdul Jamil, tak kurang dari 3,65 juta warga Indonesia menahbiskan diri menjadi santri yang identik dengan tolabul ilm. Meski begitu, sedikit sekali yang benar-benar belajar untuk menguasai seluruh disiplin ilmu khususnya yang mendapat label “ilmu fardhu kifayah”. Para santri saat ini hanya membatasi diri pada penguasaan ilmu dasar dan merasa cukup hanya dengan “pucuk es krim”. Padahal ilmu yang harus dikuasai yang bersifat substansial seperti tak tersentuh dengan kebutuhan umat saat ini sudah sampai pada taraf darurat. Sosok dengan keluasan ilmu dan tahqiq (mumpuni) menjadi hal yang mutlak dibutuhkan saat ini jika tak ingin Islam dengan mudah terpecah oleh isu dan aliran sempalan. Dapat dilihat melalui fenomena jejaring sosial atau terlihat dari kabar media bahwa saat ini umat Islam sangat mudah diacak-acak. Yang benar dikatakan salah dan kesalahan dianggap sebagai kebenaran. Jelas ini merupakan akibat kedangkalan pengetahuan umat dan langkanya tokoh yang mampu dijadikan rujukan seluruh pihak, mampu menjawab semua tantangan kekinian, memahami psikologi problematika umat dengan integritas dan kesalehan pribadi serta diakui oleh semua kalangan karena kealimannya. Umat Islam membutuhkan ulama Indonesia kaliber dunia seperti Syekh Nawawi Banten dengan puluhan karya besarnya, Syekh Ihsan Jampes, pengarang Sirojut Tholibin Syarh Minhajut Tholibin lil Ghozali atau Syekh Yasin Al-Fadani yang berjuluk Musnidud Dunya.

Dewasa ini aliran di luar mainstream ahlussunnah waljamaah gencar sekali melakukan penetrasi untuk menyebarkan paham mereka. Dengan agitasi dan propaganda yang manis memanfaatkan antusiasme beragama masyarakat, mereka berhasil memperoleh pengikut yang tidak sedikit dan semakin menggerogoti akidah umat. Diperparah lagi oleh kelemahan aktivitas dakwah aktivis ahlussunnah dalam menjangkau kantong-kantong yang menjadi lahan aliran sempalan, yang banyak menyasar kalangan akademis dan golongan menengah ke atas yang mengedapankan logika dalam menalar syariat.

Dengan latar belakang pengetahuan agama yang minim mereka mudah terbujuk analogi sederhana seperti “kembali kepada al-kitab dan sunnah”, “berjuang demi tegaknya khilafah”, dan “pemurnian aqidah” meski isinya seringkali tak sesuai kulit dan kemasannya. Akibat kampanye sesat mereka, banyak masyarakat yang termakan kebohongan aliran bid’ah dan dengan naifnya menafikan ilmu fiqih karena dianggap bukan bagian syari’at, menyalahkan Imam Malik karena menyalahi “ijtihad” yang benar versi mereka dan meragukan kevalidan praktek shalat yang dilakukan umat Islam saat ini. Inilah fakta yang sebenarnya terjadi saat ini pada pemuda Islam! Ibarat baju, Islam sekarang sudah compang-camping berlubang dan robek di sana-sini hingga hampir-hampir tak dapat disebut baju lagi. Berbagai fenomena masyarakat inilah yang mengingatkan kita kembali akan pentingnya menguasai lebih dalam syariat Islam dengan tujuan menolong sunnah dan melawan bid’ah. Mengenal lebih jauh ilmu warisan Rasulullah dan mengemban tugas seperti yang dahulu pernah diperjuangkan Imam Ahmad dan Imam Ghozali, juga yang dilakukan oleh Sayyid Muhammad Al-Maliki. Semoga kita bisa mengikuti jejak mereka. “Barangsiapa yang menghapal satu hadis untuk menolak bid’ah maka surgalah balasannya” (al-hadis, hasyiyah ibnu jamroh lil bukhori)

Tidak cukup hanya sampai di situ. Umat Islam juga harus menyadari pentingnya menempuh ilmu di jalur akademik sebagai sarana agar bisa mengawal mereka, untuk menguasai apa yang mereka kuasai, dan tidak memaknainya sebagai prioritas utama karena dikhawatirkan bisa melalaikan dari tujuan utama yaitu membela Islam. Satu hal lagi yang tak kalah penting dan tak boleh dilupakan adalah akhlak, adab, moral dan tata krama khususnya terhadap ulama dan syaikh/guru mereka. Atsar yang masyhur antara sahabat Zaid bin Tsabit dan Abdullah ibn Abbas, sepupu Rasulullah adalah contoh dan panutan ideal bagaimana seharusnya berinteraksi. Diriwayatkan bahwa seusai menghadiri jenazah, Zaid bin Tsabit menuju kendaraan (kuda)nya untuk pulang. Tiba-tiba datanglah Ibnu Abbas menuntun tali kekang kuda tersebut lalu Zaid berkata, “biarkan saja kuda itu wahai putra paman Rasulullah”. Maka Ibn Abbas menjawab, “seperti inilah Rasulullah menyuruh kami memperlakukan ulama”. Zaid pun lalu mencium tangan Ibn Abbas sambil berkata, “seperti inilah Rasulullah menyuruh kami memperlakukan Ahlul Bait” (HR Al-Hakim). Kisah yang hampir sama juga terjadi pada Imam Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal sebagaimana tertulis dalam Tahdzibul Kamal. Radhiyallahu anhum ajma’in.

Amiruddin Fahmi

ket. gambar:
- atas, Pondok pesantren Wali Songo Ngabar Ponorogo Indonesia
- bawah, UIN Jakarta, seharusnya menjadi wadah yang melahirkan para pembaharu Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar