Cari Blog Ini

15 Januari 2012

Rujukan Yurisdprudensi Islam (Fiqh), Komplit dan Mu'tamad



إنما يخشى الله من عباده العلماء.

ولولا نفر من كل فرقة طائفة ليتفقهوا فب الدين ولينذرو قومهم إذا رجعوا إليهم لعلهم يحذرون


Imam Qurthubi berpendapat bahwa kedua ayat ini merupakan dalil yang menunjukkan wajibnya menuntut ilmu. Ilmu haruslah dikuasai sebelum mengerjakan sesuatu apapun. Sebelum melaksanakan shalat ketahuilah rukun, sunnah, makruh dan yang membatalkan shalat karena tanpa itu seseorang berpotensi melakukan kesalahan yang berimplikasi pada sahnya shalat. Tanpa disadari seseorang akan tergolong "tarik as-shalat" yakni orang yang meninggalkan shalat, yang dalam al-qur'an diancam dengan Neraka Wail. Bukan karena ia tak pernah melaksanakan shalat tapi lebih karena shalat yang dia laksanakan terhitung tidak sah karena ketidaktahuannya. Bukan pula hanya urusan shalat dan ibadah lain yang tergolong fundamental dalam syari'at Islam, tapi segala hal yang dilakukan dalam hidup haruslah pula kita kenali kedudukannya dalam Yurisprudensi Islam (fiqh).  Merugilah orang yang mengira dirinya selama ini dalam kebenaran dan jauh dari dosa jika ternyata apa yang digeluti adalah haram.

I'anatut Tholibin, karya Sayyid Abu Bakar Muhammad Syatho ad-Dimyathi, adalah salah satu kitab yang sering menjadi rujukan primer bagi mayoritas santri Indonesia dan bacaan wajib di pesantren salaf umumnya. Beliau adalah salah satu ulama besar yang meninggal tahun 1320 Hijriah. Latar belakang penulisan kitab ini seperti dituturkan pengarang dalam muqoddimah (pengantar) kitab ini berawal dari "profesi" beliau menjadi mudarris atau pengajar kitab syarah fathul mu'in yang mensyarahi kitab Qurrotul 'Ain di Masjidil Haram. Fathul mu'in dan qurrotul 'ain sendiri adalah karya al-allamah zainuddin al-malibari cucu syaikh Zainuddin pengarang kitab Hidayatul Adzkiya' ila Thoriqil Auliya'. Selama mengajar itulah beliau menulis catatan pinggir untuk mengurai kedalaman makna kitab fathul mu'in yang penting diingat dan perlu diketahui sebagai pendekatan dalam memahami. Lalu, sesuai penuturan beliau, beberapa sahabat beliau memintanya untuk mengumpulkan catatan itu dan melengkapinya untuk kemudian dijadikan satu kitab (hasyiyah) yang pada akhirnya bisa lebih bermanfaat untuk kalangan yang lebih luas. Dari inilah bermula kitab yang kini berhasil memenuhi harapan pengarangnya yang terkandung dalam nama kitab ini, "penolong penuntut ilmu". Pada akhirnya i'anatut tholibin benar-benar menjadi pegangan wajib setiap santri yang sedang mengkaji mendalami fiqih melalui kitab fathul mu'in.

Kitab ini merupakan literasi bermodel hasyiyah, yaitu berbentuk elaborasi atau perluasan penjelasan dari tulisan terdahulu yang lebih ringkas. Sesuai namanya, kitab ini diperuntukkan santri yangmengkaji fathul mu'in, kitab fiqh yang cukup komplit namun memiliki kerumitan bahasa dan ungkapan yang cukup merepotkan bagi pemula khususnya. Fathul mu'in yang merupakan karya al-malibari konon ditulis dalam keadaan "sakar" atau "mabuk" sehingga beberapa kalimat di dalamnya tidak selaras dengan kitab fiqh umumnya. Misalnya, terkadang susunan kata atau kalimatnya "menyalahi" kaidah nahwu atau terkadang menggunakan istilah yang tidak lazim digunakan dalam kitab fiqh lainnya. Melihat fakta ini, hasyiyah i'anatut tolibin tentu akan sangat membantu dengan pendekatan yang mudah ditangkap, jelas dan berisi. I'anatut tolibin juga tidak sibuk dengan keterangan tambahan yang tak berkaitan dengan "ibaroh" yang tertuang dalam fathul mu'in.

Ditulis pada abad ke 13 Hijriah, kitab ini tergolong fiqh mutaakhkhirin.  I'anatut tholibin memiliki kelebihan sebagai fiqh mutakhkhirin yang lebih aktual dan kontekstual karena memuat ragam pendapat yang diusung ulama mutaakhkhirin utamanya Imam Nawawi, Ibnu Hajar dan banyak lainnya yang tentunya lebih mampu mengakomodir kebutuhan penelaah akan rujukan yang variatif dan efektif. Rujukan utama penulis dalam penyusunan kitab ini adalah beberapa kitab referensi dalam fiqh seperti Tuhfatul Muhtaj karya Ibnu Hajar, Fathul jawwad Syarhul Irsyad, Syarhur Rhoudh karya Syaikh Zakariya Al-Anshori, Hawasyi Ibni Qosim alat Tuhfah, Hawasyi Ali As-Syibromullisi dan Hasyiyah al-Bujairomi.

Selain itu, I'anatut Tholibin di beberapa tempat "rawan" sarat akan aroma tasawwuf yang mengimbangi kreativitas dan eksplorasi ijtihad dengan keanggunan adab kepada Khaliq. Seperti dapat ditemui pada bab Amar Ma’ruf.

I'anatut tholibin juga melengkapi "kekurangan" fathul mu'in yang pada beberapa bab tidak menguraikan panjang lebar bahkan cenderung minim penjabaran. Seperti pada bab haid dan tayammum. Penulis fathul mu'in konon enggan berpanjang lebar dengan alasan efisiensi dan jarangnya haid dan tayammum menimpa umat muslim umumnya. I'anatut tolibin lah yang lalu menambal celah ini dan menambah keterangan yang mungkin akan dibutuhkan penelaah kitab tersebut. Ringkasnya, kitab ini pantas menjadi referensi dan rujukan primer bagi santri dan siapapun yang ingin mendalami fiqh dengan berpegang pada qaul yang bisa dipertanggung-jawabkan (mu'tamad). Sedikit masalah fiqh yang terlewat dan tak terkupas dalam kitab ini. Wallahu A’lam.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar