Cari Blog Ini

19 Oktober 2011

Dilema Ariel-Luna Maya


4 Juni 2010, masih lekat di ingatan kita ketika untuk pertama kalinya sebuah video berisi adegan orang dewasa dengan dua publik figur sebagai pemerannya terkuak dan diekspos besar-besaran oleh berbagai media cetak maupun elektronik. Ya, bad news is good news. Berita ini menjadi headline berbagai media dan topik utama tajuk news di layar kaca sampai-sampai menjadi Trending Topic di situs jejaring Twitter, sebuah situs dengan skala internasional sebanding dengan fenomena Justin Bieber pelantun tembang mega hits Baby yang sangat booming di amrik dan juga pernah menjadi trending topic di situs yang sama.

Ironis memang. Video ini muncul ketika kedua pemeran yang mirip dua pasangan selebritis itu atau asli jika berpijak pada pendapat Roy Suryo, saksi ahli yang ditunjuk Polri untuk memeriksa keaslian video tersebut, tengah berada pada puncak popularitas. Terbukti dua sejoli ideal ini didapuk menjadi bintang iklan sebuah produk sabun ternama sebagai pasangan, sehingga secara otomatis mengundang keingintahuan siapapun yang mendengarnya, berlarut-larut, dikupas dari berbagai sudut dan sisi, menimbulkan pro dan kontra, tragis dan dilema, memanggil rasa iba karena jelas insiden ini akan menghancurkan karir yang telah mereka rintis dari titik nol, mencapai puncak lalu tersungkur jatuh di titik nadir, dan memang itulah reaksi yang paling tepat, yaitu menentang dan boikot karena jika tidak begitu maka generasi muda bangsa yang telah terlanjur tahu akan mengartikan diam no reaction sebagai tindakan setuju, tanggapan permisif, lalu tanpa sungkan diam-diam atau bahkan terang-terangan menirunya.

Entah darimana asalnya, video yang seharusnya sangat privat justru menjadi konsumsi umum tersaji di ranah internet, dunia tak terbatas yang bisa diakses dan diunggah oleh siapa saja dimana saja tanpa ampun menyebar luas dan menjadi perbincangan hangat setiap komunitas dan lapisan masyarakat bahkan menjadi topik dan perbincangan para praktisi hukum dan jenderal berbintang mengingat masalah ini mempunyai implikasi yang sangat luas jika tidak ditangani dengan serius. Degradasi moral bangsa yang telah susah payah dijaga para pendahulu dan kini menjadi tanggung jawab kita dengan susah payah akan menjadi taruhannya.

Untunglah elit bangsa ini tidak main-main menyikapi kasus ini. Fakta di lapangan, praktisi hukum, dengan yuridiksinya telah mengusut dan mencari siapa pihak yang bertanggung jawab atas kejadian ini dan mulai menemukan titik terang meski palu belum pula diketuk. Pejabat eksekutif pun tak ingin ketinggalan, walikota tempat pemeran pria bermukim, Bandung, telah mencekal hak manggung di daerahnya juga mencabut hak kependudukan atau KTP. Beberapa daerah lain juga ikut memboikot sang vokalis sebuah grup band ternama ini. Berbagai kecaman juga datang dari berbagai ormas terutama yang berbasis islam menandakan bahwa masyarakat masih peduli akan masa depan bangsa yang sedang terancam tergerus budaya barat. Tindakan tegas memang diperlukan untuk membentengi moral sebagai identitas bangsa kita karena jika tidak ditangani dengan serius akan muncul video serupa mungkin sampai batas yang tidak terpikirkan saat ini seperti legalisasi maksiat-maksiat untuk dipertontonkan dan disajikan kepada khayalak luas.

Kesalahan paling fatal adalah kenapa video ini yang katanya dibuat untuk koleksi pribadi bisa jatuh ke tangan orang yang tidak bertanggung jawab. Apapun motifnya, iseng, atau memang sengaja menjatuhkan yang jelas kejadian ini punya dampak negatif lebih luas dari tujuan awalnya dan barangkali diluar perkiraan si penyebar video sendiri. Kalau kita mau berpikir, secara logika tidak mungkin koleksi pribadi tersebut bisa sampai ke tangan pelaku penyebaran jika tidak punya hubungan langsung dengan pemilik koleksi. Yang pasti, pemilik video tersebut sengaja atau lalai menjaga barang yang benar-benar harus ia jaga, meski sepertinya kemungkinan lalai lebih kecil dari yang pertama.

Berbicara tentang kasus ini bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi, tindakan memang diperlukan karena tidak mengambil sikap atau diam tanpa menanggapi mungkin akan disalah tafsirkan sebagai sikap setuju atau taqrir diikuti dengan taqlid atau keberanian menirunya. Tentu dengan catatan tidak membicarakan yang tidak perlu tapi diarahkan kepada tindak antisipasi dan menanggulangi dampak negatif dari kasus ini. Tapi di sisi lain, fakta yang belum sepenuhnya terungkap akan membawa kepada ghibah atau fitnah jika ditinjau dari perspektif syari'ah dan sumbangsih menyebarkan hal buruk.

Melihat dua sisi diatas, lebih tepat jika urusan ini dikembalikan kepada niat orang tersebut. Apalagi membicarakan kedzaliman masih mendapat toleransi jika bertujuan menjauhi perbuatan nista dengan mempertimbangkan berbagai aspek lain seperti lawan bicara yang tepat dan isi pembicaraan yang tidak melenceng dan hal-hal lain yang melingkupinya.

Problem ini memang dipenuhi situasi dilematis. Kecaman dan boikot akan membuat masyarakat kehilangan figur seniman yang telah lama menghiasi ranah hiburan tapi tindakan tegas memang diperlukan. Lebih baik menyisihkan kepentingan pribadi daripada moral bangsa yang menjadi tumbal. Belum lagi pembicaraan yang terus mengalir menimbulkan dilema baru antara ghibah, menyebarkan keburukan dan menunjukkan kepedulian dan ketidaksetujuan terhadap hal ini. Semoga kejadian ini tidak menjadi titik awal kemerosotan akhlak dan hilangnya budaya ketimuran berganti budaya barat yang permisif di masa mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar